Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang peraturan pelaksanaan UU Kesehatan, memuat sebanyak 1.072 pasal. Mengatur beragam hal, mulai pengetatan iklan rokok, makanan siap saji, hingga regulasi yang mengatur kesehatan reproduksi.
PKBTalk24 | Jakarta ~ Presiden Joko Widodo akhirnya menandatangani peraturan pemerintah terkait dengan palaksanaan UU Kesehatan No. 17 Tahun 2023, yang telah disahkan di Rapat Paripurna DPR RI sejak setahun lalu.
Peraturan yang dimaksud ialah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang peraturan pelaksanaan UU Kesehatan, yang memuat sebanyak 1.072 pasal. Mengatur beragam hal, mulai pengetatan dan larangan iklan rokok, makanan siap saji, hingga regulasi yang mengatur kesehatan reproduksi.
Termasuk juga mengatur aspek teknis pelayanan kesehatan, pengelolaan tenaga medis dan tenaga kesehatan, fasilitas pelayanan kesehatan, serta teknis perbekalan kesehatan serta ketahanan kefarmasian alat kesehatan. Berikut ini beberapa poin-poin penting terkait turunan Undang Undang Kesehatan No, 17 Tahun 2023.
1. Larangan Iklan Makanan Siap Saji
Pemerintah memperketat peredaran pangan olahan makanan siap saji atau fast food. Mengingat, angka kasus penyakit tidak menular diabetes, hingga obesitas terus merangkak naik.
Restoran maupun usaha jasaboga lain sebagai penyedia makanan siap saji dilarang mengiklankan produknya bila batas gula, garam, dan lemak (GGL) ditemukan jauh dari yang ditetapkan. Pemerintah juga kini bisa menetapkan cukai pada pangan olahan tertentu, sesuai bunyi pasal 195.
Bila industri makanan siap saji atau fast food masih melanggar ketentuan, sanksi berat yang diberikan tidak main-main, yakni pencabutan izin produksi.
2. Pengetatan Aturan Soal Peredaran Rokok, Larangan Jual Eceran
Masalah tembakau juga diatur dalam PP No. 28 tahun 2024 ini. Sebab pemerintah melihat tren peningkatan signifikan terkait perokok anak.
Karenanya, untuk mencegah kecenderungan angka perokok pada anak yang semakin meningkat, pelaku usaha kini dilarang menjual rokok secara batangan atau eceran. Selain itu, kemasan rokok yang semula marak dijual kurang dari 20 pcs dengan harga relatif murah dan mudah dijangkau kelompok anak, juga ikut dilarang.
Dikutip dari salinan beleid itu, Selasa (30/7/2024), pasal yang mengatur terkait penjualan rokok adalah pasal 434. Dalam pasal 434 ayat (1) mengatur bahwa rokok dilarang dijual secara eceran maupun kepada setiap orang di bawah usia 21 tahun.
“Setiap orang dilarang menjual produk tembakau dan rokok elektronik: menggunakan mesin layan diri; kepada setiap orang di bawah usia 21 tahun dan perempuan hamil; secara eceran satuan perbatang, kecuali bagi produk tembakau berupa cerutu dan rokok elektronik,” bunyi pasal 434 ayat (1).
Penjualan produk tembakau dan rokok elektronik juga dilarang pada area sekitar pintu masuk dan keluar atau pada tempat yang sering dilalui. Begitu pula dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak.
‘Warning’ atau perhatian risiko dampak dari merokok pada kemasan, ikut diperluas. Dari hanya 40 persen, menjadi 50 persen atau setengah dari kemasan. Termaktub dalam pasal 438, font yang dipakai harus Arial dan dibold, baik pada depan maupun belakang kemasan. Harapannya, tentu bisa meningkatkan kesadaran bahaya rokok pada masyarakat.
3. Susu Formula Tak Boleh Diskon
Dinilai bisa menghambat pemberian air susu ibu (ASI), pemerintah kembali mempertegas aturan promosi susu formula. Dalam pasal 33 poin C tercantum jelas pelarangan produsen memberikan potongan harga alias diskon produk.
“Pemberian potongan harga atau tambahan atau sesuatu dalam bentuk apapun atas pembelian susu formula bayi dan/atau produk pengganti air susu ibu lainnya sebagai daya tarik dari penjual,” demikian alasan pelarangan tersebut.
Aturan ini sejalan dengan kode etik internasional yang melarang sufor untuk dipromosikan sebagai pengganti ASI. Sayangnya, organisasi PelanggaranKode.Org masih menemukan ‘akal-akalan’ produsen dalam mengelabui konsumen seolah bisa diberikan sebagai pengganti ASI.
Masih banyak ditemukan adanya ‘kenakalan’ produsen yang tak jarang mengiklankan produknya di media sosial internet. Hingga Juli 2024, organisasi PelanggaranKode.Org mencatat 476 promosi sufor yang ditemukan melalui media tersebut. Mereka juga melaporkan sponsorship kerja sama dalam sebuah webinar kerap dilakukan para produsen, secara live di Instagram maupun kanal platform media sosial lain, yakni sebanyak 200 pelanggaran.
4. Menghapus Praktik Sunat Perempuan
Kepercayaan sunat perempuan tidak dipungkiri masih terjadi di beberapa daerah, dengan alasan tertentu. Namun, secara medis ada alasan jelas di balik tidak diperlukannya sunat kelamin perempuan.
Kelamin perempuan tidak tertutupi preputium atau sudah terbuka sejak lahir, sehingga nihil hambatan saluran kemih dan membersihkannya bisa dengan mudah. Berbeda dengan anatomi kelamin laki-laki yang secara medis sunat memang ditujukan untuk menghilangkan preputium demi menghambat saluran berkemih, yang berpotensi berakhir infeksi saluran kemih (ISK).
Sunat perempuan justru bisa memicu masalah medis baru seperti nyeri hebat sampai perdarahan di bagian klitoris.
“Menghapus praktik sunat perempuan,” demikian bunyi pasal 102 poin a, sebagai salah satu upaya kesehatan reproduksi bayi, balita, dan anak prasekolah.
5. Praktik Aborsi Bersyarat
Tidak banyak yang berubah, pemerintah masih mengizinkan praktik aborsi bersyarat. Sebagaimana tertuang di pasal 120, dokter bertugas melakukan pelayanan aborsi karena adanya kehamilan yang memiliki indikasi kedaruratan medis dan/atau kehamilan akibat tindak pidana perkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lain.
Pelayanan aborsi hanya diperbolehkan di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat lanjut, memenuhi sumber daya kesehatan sesuai standar yang ditetapkan oleh menteri. Pelayanan aborsi hanya dapat dilakukan oleh tenaga medis dan dibantu oleh tenaga kesehatan sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya.
6. Tatalaksana Beragam Layanan Kesehatan
Aspek lain yang juga diatur secara detail meliputi upaya kesehatan penglihatan dan pendengaran, kesehatan keluarga, kesehatan sekolah, kesehatan kerja, kesehatan lingkungan, kesehatan matra, pelayanan kesehatan pada bencana, pelayanan darah, dan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh.
Lalu, terapi berbasis sel dan/atau sel punca, bedah plastik rekonstruksi dan estetika, pengamanan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan PKRT, pengamanan zat adiktif, pelayanan kedokteran untuk kepentingan hukum, serta pelayanan kesehatan tradisional. ***