Semakin sering PBNU membantah, semakin keras pula kemarahan publik, terlebih lagi dari kalangan pendukung Kiai Marzuki yang menganggap PBNU sedang melakukan kebohongan besar-besaran demi menutupi alasan yang sebenarnya.
Oleh : Komarudin Daid | Sekretaris DPC PKB Jakarta Barat.
PKBTalk24 | Jakarta ~ Sikap netralitas pengurus besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dalam percaturan politik, utamanya Pilpres 2024 kini menghadapi banyak pertanyaan dari masayarakat. Terlebih dari warga Nahdliyin. Ada sejumlah kebingungan yang melahirkan sederet pertanyaan atas statemen Ketum PBNU KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) melihat realitas yang tersaji di depan mata. Lalu apa gerangan yang jadi pemicu kebingungan dan sederet pertanyaan tersebut ?
Adalah ketua umum PBNU Kiai Yahya Cholil Staquf alias Gus Yahya yang sejak awal mewanti-wanti agar pengurus NU disemua tingkatan untuk menjaga netralitas politik, tidak memihak kesalah satu partai dan Paslon tertentu. Lebih jauh Gus Yahya menegaskan jangan menjadikan NU sebagai kendaraan politik. Begitu kurang lebih statemen tegas dari Ketum PBNU.
Sayangnya steatemen sekaligus perintah Ketum tersebut kini yang justru memicu banyak pertanyaan, karena tidak satu padunya antara kata dan perbuatan. Tidak ada keselarasan antara yang diucapkan dan perbuatan.
PEMBERHENTIAN DAN PEMECATAN
Kasus pemecatan KH Marzuki Mustamar dari posisinya sebagai Ketua PWNU Jawa Timur, nampaknya menjadi puncak kekecewaan warga NU atas Sikap PBNU menjelang pemilu 14 Pebruari 2024 yang akan datang.
Isu yang santer beredar kalau pemecatan Kiai Marzuki dilatarbelakangi alasan politik. Pun begitu PBNU menampiknya, kalau pemecatan tersebut tidak ada hubungannya sama sekali dengan politik. Bantahan ini justru makin memicu kemarahan warga Nahdliyin, karena dianggap sedang membohongi warganya sendiri.
Lebih dari itu bantahan tersebut telah mengikis kepercayaan nahdliyin kepada PBNU, karena PBNU dianggap bukan hanya sedang berbohong, tetapi juga merendahkan akal sehat mereka. Apalagi pemecatan Kiai Marzuki momentumnya terjadi di saat ramai-ramainya hiruk-pikuk kampanye partai dan Capres-cawapres.
PBNU malah menjelaskan pemecatan Kiai Marzuki karena persoalan lama, yang itupun belum jelas persoalan apa. Maka timbul pertanyaan, kenapa pemecatannya baru dilakukan sekarang, di saat ramai kampanye Pilpres?
Mungkin PBNU beranggapan warga NU adalah sekumpulan orang polos, yang lugu, yang mudah percaya dengan bantahan yang disampaikannya, sehingg pertanyaan publik menyangkut pemecatan atau pencopotan Kiai Marzuki dibantah begitu ringannya tidak mengindahkan kewarasan akal dan hati nurani warganya.
Karenanya semakin sering PBNU membantah, semakin keras pula kemarahan publik, terlebih lagi dari kalangan pendukung Kiai Marzuki yang menganggap PBNU sedang melakukan kebohongan besar-besaran demi menutupi alasan yang sebenarnya.
Sebab mereka tetap meyakini kalau pemecatan Kiai Marzuki tidak lain dan tidak bukan karena mendukung salah satu Paslon yaitu Paslon nomor urut 01, Anies Baswedan – Muhaimin Iskandar (AMIN), sementara sudah terang benderang PBNU mendukung paslon nomor urut 02, Prabowo- Gibran, yang sepenuhnya bertolak belakang dengan perintah netral Ketum PBNU sendiri.
***
Memang sebelum pemecatan Kiai Marzuki sebagai Ketua PWNU Jawa Timur, didahului pergantian terhadap pengurus pusat PBNU. Ada Nusron Wahid dan Yeny Wahid yang masing-masing menjadi Timses Paslon Prabowo – Gibran dan Ganjar-Mahfud. Karenanya ini seolah menjadi pembenar jika PBNU sudah berbuat secara adil dan berimbang dalam membuat keputusan.
Tentu saja publik tidak serta merta percaya, apalagi ada dua narasi yang berbeda yang mengiringi keputusan PBNU, di mana untuk Nusron dan mbak Yeni, kepada keduanya berlaku istilah pergantian. Ada perbedaan makna yang jelas berbeda dari dua kata tersebut.
Orang yang diganti tidak harus karena melakukan kesalahan fatal. Alasan penyegaran ditubuh organisasi misalnya, sering kali menjadi salah satu alasan atau karena kurang aktif menjadi alasan lain, dan biasanya terhadap pihak yang diganti diikuti ucapan terima kasih atas dedikasinya selama ini terhadap organisasi.
Lalu istilah yang dipakai untuk Kiai Marzuki Mustamar adalah kalimat pemecatan atau pencopotan. Kata pecat atau pemecatan atau dicopot, selalu punya konotasi buruk, tidak termaafkan, maka tidak ada jalan lain kecuali dipecat atau dicopot sebagai jawabannya tegasnya.
Pertanyaannya perilaku buruk yang tidak termaafkan seperti apa yang dilakukan KH Marzuki Mustamar, sampai-sampai yang bersangkutan harus dipecat dengan tidak hormat, sementara yang menjadi Tim sukses Paslon capres-cawapres saja cuma dikasih sanksi pemberhentian. Mengapa terhadap Kiai Marzuki yang hanya mendukung salah satu Paslon malah diganjar dengan pemecatan atau pencopotan.
Pertanyaan lainnya bagaimana dengan pengurus NU lainnya, yang juga menjadi Tim Sukses Prabowo-Gibran. Kita tahu Gubernur Jawa Timur yang juga salah satu pengurus PBNU sekarang menjadi Timses Prabowo-Gibran, tetapi PBNU tidak melakukan hal yang serupa seperti yang dilakukan terhadap Kiai Marzuki Mustamar.
Ketum PBNU cuma meminta Khofifah agar segera mengajukan surat cuti pada saat yang bersangkutan sudah resmi menjadi Timses Prabowo-Gibran.
Sekilas terdengar biasa bahkan normatif saja, tetapi kalau kita mau mencermati lebih jauh justru semakin mengkonfirmasi perlakuan diskriminasi PBNU terhadap kadernya yang mendukung Prabowo-Gibran dengan yang mendukung lainnya, terutama Paslon AMIN.
Mengapa Kiai Marzuki Mustamar tidak diminta mengajukan surat cuti terlebih dahulu seperti yang diminta sang Ketum PBNU kepada Khofifah Indar Parawansa, tetapi langsung diganjar dengan pemecatan atau pencopotan, bahkan tanpa proses tabayun yang selama ini dipegang teguh oleh NU sebelum memutus suatu perkara.
Padahal posisi Khofifah bukan cuma pendukung, tetapi Timses sekaligus Jurkam Prabowo-Gibran. Belum lagi pengurus NU ditingkat Pimpinan Wilayah atau Provinsi, Pimpinan Cabang ditingkat Kabupaten/Kota yang tersebar kepada para Paslon, umumnya Prabowo-Gibran, masa iya PBNU tidak tahu, atau memang tidak mau tahu, sehingga tidak memberi sanksi apapun seperti yang gencar dilontarkan sang ketua umum PBNU selama ini.
KECURANGAN SEJAK DINI
Pilpres kali memang diwarnai begitu banyak dugaan kecurangan, bahkan sejak awal kecurangan sudah terjadi di lembaga yudikatif ketika Mahkamah Konstitusi (MK) menguji Pasal 169 UU Pemilu No 7 Tahun 2017 Tentang batas minimal usia Capres-cawapres yang paling sedikit berusia 40 tahun, tetapi MK menambahkan kalimat “sedang/pernah memimpin pada jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk kepala daerah”.
Tidak perlu harus menjadi ahli hukum untuk memahami arti dan arah keputusan tersebut, orang awam pun paham kalau ketuk palu MK itu sengaja dipersembahkan untuk Gibran Rakabuming Raka semata, yang saat itu sedang harap-harap cemas menjadi Cawapres Prabowo, karena usianya yang belum genap 40 tahun, seperti yg dipersyaratkan UU Pemilu No. 7 Tahun 2017.
Sebagai mana diketahui, Ketua Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman sebagai penentu keputusan MK adalah adik ipar Presiden Jokowi, sekaligus Paman Gibran, yang mustahil terbebas dari konflik kepentingan. Ini semakin menebalkan kecurigaan publik adanya permainan hukum demi Gibran.
Benar saja, ternyata Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) memutuskan, jika Ketua Mahkamah Konstitusi tersebut telah melakukan pelanggaran etik berat atas keputusan yang hanya menguntungkan Gibran tersebut.
Maka kecurigaan publik pun menjadi sah dan nyata adanya. Tidak ada lagi perbedaan persepsi untuk perihal yang satu ini, karena MKMK yang punya wewenang menilai sudah memutuskan kalau keputusan MK tersebut cacat etik dan cacat moral.
Dengan demikian maka secara otomatis pencawapresan Gibran juga cacat hukum, cacat etik, dan cacat moral dan tidak selayaknya dilanjutkan, tetapi nyatanya Gibran terus maju dengan membuang semua keberatan moralitas alias rasa malunya.
KOMITMEN AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR
PBNU sebagai Ormas keagamaan terbesar di Indonesia bahkan dunia, kini benar-benar sedang diuji keberpihakannya pada kasus ini. Publik bisa menilai komitmen dan keberpihakan PBNU pada persoalan yang menyangkut keputusan MK, yang cacat moral dan telah mencederai rasa keadilan masyarakat tersebut.
Lebih dari itu, bagaimana pula publik, khususnya warga NU melihat langkah PBNU ini dari aspek agama, yaitu penegakan amar ma’ruf nahi munkar, di mana PBNU dituntut harus mampu meletakan dirinya secara tepat dan terhormat, ketika melihat kemunkaran, berupa kesewenangan yang terjadi dalam proses pencalonan Cawapres Gibrang. Masih beranikah PBNU bersikap tegas mengemban amanah “watawa soubil haq watawa saubish-shobri” yaitu menyeru kepada kebaikan dan mencegah dari berbuat kejahatan, dalam hal ini kecurangan dalam konteks Pilpres ini?
Kita paham, misi ini bersifat wajib dan mengikat seluruh umat Islam, dan untuk itu, tersedia tiga alternatif menghadapi kemunkaran, yaitu dengan tangan kalau memang ada pada posisi mampu melakukannya, atau dengan lisan, bisa dengan memberi nasehat atau peringatan kepada pelakunya atau dengan hati yaitu menolak atau tidak menyukai kemunkaran tersebut.
Surat Ali Imran ayat 104 “Hendaklah ada di antara kamu segolongan orang yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, mereka itulah orang-orang yang beruntung“.
Tentu saja, ayat ini bagi pengurus PBNU di luar kepala, lebih dari sekedar tahu, bahkan memahami seutuhnya.
Masalahnya adalah hal yang nyata kalau Gibran mulus melaju sebagai Cawapres, karena hasil karya MK mencurangi aturan, dengan bukti keputusan Mahkamah Kehormtan Mahkamah Konstitusi (MKMK), yang memutuskan jika Hakim MK, telah melakukan pelanggaran etik berat, seperti yang sudah disebutkan di atas.
Pada titik ini saja, PBNU mestinya berani mengambil sikap dengan menjaga jarak, bukan malah merapat dan memberi dukungan. Belum lagi kasus Capres Prabowo soal penculikan dan pelanggaran berat HAM yang melibatkannya di masa lalu.
Di mana sampai detik ini, masih ada tiga belas orang yang belum kembali ke keluarganya, padahal kejadiannya sudah dua puluh lima tahun yang lalu, maka jelaslah jika paket Capres-Cawapres ini benar-benar bermasalah baik secara hukum dan secara moral.
Kalau pada akhirnya PBNU malah memihak Paslon yang bermasalah serius sebagai pelanggar berat Ham dan hasil kecurangan konstitusi yang cacat moral, lebih dari itu, Paslon ini juga bisa dibilang tidak berbau NU sama sekali, sementara ada Paslon lain, yaitu nomor satu dan nomor tiga sangat kental ke NU-annya, yaitu Abdul Muhaimin Iskandar atau Gus Muhaimin dan Mahfud MD.
Pertanyaannya, di mana komitmen amar makrur nahi munkar PBNU, jika secara kasat mata malah mendukung paslon yang posisinya dalam konteks agama harus disikapi dengan tiga hal seperti tersebut di atas, tapi mengabaikan dan malah mendukungnya. Tidakah ini sama saja dengan mendukung kemunkaran?
Sinis terhadap kader NU
Lalu, di mana pula keberpihakannya terhadap kader NU kalau nyatanya malah tidak mendukungnya, bahkan sering kali meremehkan dan berlaku sinis terhadap mereka sebagai kader NU yang sedang ikhtiar memenangkan pertarungan Pilpres yang tidak lain demi memperjuangkan nasib warga NU juga sebagai bagian terbesar bangsa ini.
Adalah Kiyai Abdussalam atau Gus Salam dan Kiai Nudirsyah Husein Rois Suriah PCINU Australia, yang secara terpisah berani mengungkapkan kalau beliau dapat informasi yang bisa dipertanggung jawabkan bahwa PBNU pernah mengumpulkan pengurus DPW dan PC di salah satu hotel di Surabaya, di mana pada pertemuan tersebut hadir Ketum PBNU dan Rois Aam yang mengarahkan PW dan PC saat itu untuk mendukung Paslon nomor urut 02.
Pengakuan ini juga dibenarkan oleh salah satu ketua PC yang tidak mau disebut identitasnya, selain itu beredar video adanya pengurus cabang yang menyampaikan amanat PBNU agar ibu-ibu Muslimat (rekaman video di dalam bus) saat menghadiri ulang tahun PP Muslimat NU ke-78 di GBK Jakarta, agar mendukung dan memenangkan Paslon nomor 02. Maka terkonfirmasilah semuanya secara gamblang, jika PBNU benar-benar tidak lagi netral yang mengayomi semua Paslon seperti yang disuarakan Ketum PBNU selama ini.
Jelas kini, netralitas NU hanya omong-kosong “omon-omon’ belaka, bahkan sudah menjadi kebohongan publik, karena nyatanya PBNU malah berpihak kepada salah satu Paslon.
***
Hemat penulis, PBNU benar-benar sedang menelanjangi dirinya, karena ketidakmampuannya menahan syahwat politik yang begitu besar dengan menabrak norma kepatutan dan kepantasan terhadap nilai dan prinsip yang selama ini dipegang teguh oleh NU, yaitu politik kebangsaan, yang selalu berada di tengah semua golongan demi menghindari perpecahan bangsa dengan bersikap netral, baik di lisan maupun perbuatan, bukan malah menceburkan diri dalam kubangan politik praktis yang memihak salah satu dan memusuhi yang lain.
Mana politik kebangsaan yang selama ini terbukti mampu merekatkan warga NU dan bangsa Indonesia dari keterpecahan oleh politik praktis yang mengarah kepada kekuasaan semata.
Jika sudah demikian, apa bedanya PBNU dengan para politisi yang terbiasa menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan politiknya, sampai-sampai harus berbohong kepada publik, seolah netral, tetapi kenyataannya sangat kemaruk kekuasaan dengan menghalalkan segala cara.
Apa gunanya bicara netralitas kalau pada kenyataannya PBNU malah asik berselancar pada permainan politik praktis dan mengekor di belakang politisi yang sedang ngebet kekuasaan.
Mana komitmen moral PBNU yang selalu berada di tengah, yang mengayomi semua pihak, kalau nyatanya berpihak kepada salah satu Paslon, apalagi yang nyata-nyata bermasalah, hasil dari keputusan MK yang cacat hukum dan cacat moral di mata MKMK itu.
Serusak apapun bangsa ini, NU harus tetap kokoh berada di jalurnya, biarlah politisi rusak, aparat hukum bermental rapuh, pemerintahan gemar korupsi dan sejumlah keburukan lainya, tetapi NU sebagai pengawal moral bangsa tidak boleh ikut-ikutan larut keasikan hingga kebablasan seperti mereka.
Kondisi seperti ini harusnya membuka kasadaran bahwa Allah sedang menguji PBNU untuk tetap kokoh pada jalurnya seperti selama ini, sekaligus membuka ladang amal baik untuk PBNU dalam penegakan amar ma’ruf nahi munkar. Di situlah makom PBNU berada, tempat terbaik yang sangat terhormat sebagai mana statemen Allah SWT, menjadi umat terbaik karena keberaniannya menegakan amar ma’ruf nahi munkar. Wallahu a’lam.