Tanggul laut raksasa itu menjadi semacam benteng pertahanan terakhir menghadapi ancaman banjir rob akibat perubahan iklim. Namun, persoalan banjir Jakarta jauh lebih kompleks daripada sekadar ancaman dari laut. Justru ada ancaman yang jauh lebih mendasar: air yang datang dari darat.
Oleh: H. Tri Waluyo, S.H | Anggota Komisi C DPRD DKI Jakarta, Pemerhati Tata Kota dan Lingkungan, Tinggal di Pesisir Pantai Jakarta Utara
PKBTalk24 | Jakarta ~ Banjir rob yang semakin sering melanda kawasan pesisir utara Jakarta memang menuntut solusi konkret. Presiden Prabowo Subianto telah memberi arahan agar proyek Giant Sea Wall di Jakarta kembali dipercepat sebagai bagian dari perlindungan jangka panjang ibu kota.
Gubernur Jakarta Pramono Anung pun menyatakan kesiapan daerah untuk menindaklanjuti arahan tersebut. Panjang tanggul pun ditambah: dari semula 12 km kini menjadi 19 km.
Namun pertanyaan kuncinya: apakah Giant Sea Wall cukup ampuh untuk menjawab kompleksitas ancaman banjir di Jakarta?
Dari perspektif teknis, Giant Sea Wall memang bisa memberikan perlindungan fisik dari naiknya muka air laut — apalagi jika dikombinasikan dengan desain waduk pantai seperti konsep awal NCICD (National Capital Integrated Coastal Development). Tanggul laut raksasa itu menjadi semacam benteng pertahanan terakhir menghadapi ancaman banjir rob akibat perubahan iklim.
Namun, persoalan banjir Jakarta jauh lebih kompleks daripada sekadar ancaman dari laut. Justru ada ancaman yang jauh lebih mendasar: air yang datang dari darat. Inilah yang selama ini sering luput dari diskursus publik.
Jakarta dilintasi oleh 13 aliran sungai utama, mulai dari sungai-sungai besar seperti Ciliwung, Cisadane, Pesanggrahan, hingga sungai-sungai sekunder seperti Sunter, Angke, dan Krukut. Ketigabelas sungai inilah yang selama berabad-abad menjadi urat nadi, tetapi juga sumber kerentanan bencana.
Jika Giant Sea Wall dibangun, tetapi kapasitas aliran sungai-sungai ini tidak dibenahi, maka air kiriman dari hulu (Bogor, Depok, dan wilayah penyangga lain) akan tetap menggenangi Jakarta — dengan ancaman banjir genangan yang tidak kalah parah dibanding rob.
Masalah Hulu ke Hilir: Dimensi Regional yang Tidak Bisa Diabaikan
Sungai Ciliwung misalnya, setiap musim hujan membawa limpasan air dari kawasan Puncak dan hulu Bogor. Ironisnya, kapasitas aliran sungai yang menyempit, sedimentasi, serta buruknya tata ruang di DAS (Daerah Aliran Sungai) membuat air mudah meluap.
Itulah sebabnya solusi flood control Jakarta tidak boleh bersifat lokal saja. Butuh integrasi antar-daerah: Bogor, Depok, Bekasi, Banten, bahkan sebagian wilayah Jawa Barat lain yang masuk dalam kawasan Jabodetabekjur. Koordinasi pengelolaan DAS menjadi mutlak, bukan sekadar opsional.
Proyek-proyek seperti sodetan Ciliwung, normalisasi sungai, revitalisasi waduk, penguatan sistem polder, hingga pengendalian pemanfaatan lahan di hulu — semuanya harus berjalan paralel dengan proyek Giant Sea Wall.
Giant Sea Wall Hanya Efektif Jika Dibarengi Solusi Hibrid
Ada konsep penting dalam manajemen banjir modern yang kerap disebut hybrid solution: kombinasi antara hard engineering (tanggul, pompa, bendungan) dengan natural-based solutions (NBS) seperti:
- Restorasi hutan mangrove pesisir
- Rehabilitasi kawasan tangkapan air di hulu
- Perluasan ruang retensi air (retarding basin)
- Pembatasan eksploitasi air tanah untuk menghentikan laju penurunan tanah
Ingat, persoalan land subsidence (penurunan permukaan tanah) Jakarta saat ini bahkan lebih mengkhawatirkan dibanding sea level rise. Ada kawasan di utara Jakarta yang tanahnya sudah turun lebih dari 4 meter dalam 30 tahun terakhir akibat eksploitasi air tanah.
Artinya: kalau Giant Sea Wall dibangun tanpa menghentikan penurunan tanah, dalam 20 tahun ke depan Jakarta bisa terjebak dalam kubangan air permanen di balik tanggul.
Momentum Kolaborasi: Ujian Tata Kelola Pemerintahan Baru
Arahan Presiden Prabowo untuk mempercepat Giant Sea Wall patut diapresiasi sebagai bentuk perhatian pemerintah pusat terhadap ancaman serius perubahan iklim. Namun ujian sebenarnya ada di level tata kelola: apakah proyek ini dikerjakan dengan transparan, berbasis data saintifik, dan melibatkan kolaborasi lintas sektoral dan lintas wilayah?
Dalam konteks otonomi daerah, Pemprov Jakarta perlu memastikan bahwa penyusunan perencanaan Giant Sea Wall dilakukan terbuka, melibatkan akademisi, LSM lingkungan, pakar hidrologi, hingga masyarakat terdampak. Tanpa partisipasi publik, proyek raksasa seperti ini berisiko menimbulkan dampak sosial-ekonomi-ekologi baru yang mungkin lebih sulit dikendalikan di masa depan.
Jakarta memang butuh Giant Sea Wall. Tetapi Jakarta juga butuh pengelolaan 13 sungainya secara integral, pengendalian air tanah, penguatan sistem polder, penataan ruang kawasan hulu, serta restorasi ekosistem pesisir. Tanpa itu semua, Giant Sea Wall hanya akan menjadi “plester sementara” yang tidak menyembuhkan akar masalah. (***)
______
Tentang Penulis:
H. Tri Waluyo, S.H | Anggota Komisi C DPRD DKI Jakarta, Pemerhati Tata Kota dan Lingkungan, Tinggal di Pesisir Pantai Jakarta Utara