Kalau kecurigaan ini benar adanya, maka apakah itu artinya Prabowo akan mengintervensi MK untuk meloloskan PPP agar lolos dari lubang jarum parliamentary threshold 4 persen. Pertayaannya bolehkah seorang presiden melakukan langkah politik seperti itu?
Oleh : Komarudin Daid | Sekretaris DPC PKB Jakbar
PKBTalk24 | Jakarta ~ Kabar anyar mendekatnya partai tua, PPP yang merapat ke koalisi Indonesia Maju pimpinan Prabowo menjadi berita menarik. Bagaimana tidak, partai yang melalui perhitungan cepat, cuiq count sejumlah lembaga survey maupun real count KPU tidak lolos parliamentary threshold (PT) 4 persen, sehingga tidak punya satu orgpun kadernya di DPR RI sebagai refresentasi partai berlambang Ka’bah tersebut, bergabung ke Presiden terpilih.
Keinginan koalisi tersebut nampaknya dibukakan pintu oleh Prabowo – Gibran sebagai Paslon pemenang pilpres, apalagi mitra partai pendukung Paslon yaitu Gerindra, Golkar, PAN, Demokrat belum sampai pada angka aman untuk mem-back-up kebijakan pemerintahannya, dimana hitungannya masih pada kisaran 48/49 persen dari angka aman 50 persen plus satu.
Timbul pertanyaan apa keuntungan menggandeng partai yang tidak punya wakil di Parlemen? Hitungan politik sebenarnya tidak ada untungnya, Prabowo mengajak bergabung PPP berkoalisi dengan pemerintahannya.
Sebab lazimnya koalisi dibutuhkan agar ada dukungan yang kuat dari parlemen untuk mendukung kebijakan pemerintah dan segala sepak terjangnya.
Intervensi MK
Langkah merapatnya PPP kekoalisi presiden terpilih menimbulkan kecurigaan serius. Ada upaya Prabowo untuk menyelamatkan PPP dari ancaman “kebangkrutan” PPP, yang statusnya saat ini masih bergulir di Mahkamah Konstitusi (MK) atas ketidakpuasan atau tidak menerimanya PPP dari hasil rekapitulasi suara komisi pemilihan umum yang menempatkan PPP pada posisi yang tidak mencapai ambang batas terendah perlemen.
Kalau kecurigaan ini benar adanya, maka apakah itu artinya Prabowo akan mengintervensi MK untuk meloloskan PPP agar lolos dari lubang jarum parliamentary threshold 4 persen. Pertayaannya bolehkah seorang presiden melakukan langkah politik seperti itu?
Tentu saja tidak boleh. MK sebagaimana lembaga peradilan lainnya yang independen, tentu saja harus bebas dari intervensi pihak manapun, hatta seorang presiden sekalipun. Kalau Prabowo ngotot melakukannya juga, maka sebuah kesalahan vatal sudah dilakukan di awal persiapannya memerintahkan negara Republik Indonesia.
Kalau mengawalinya saja sudah salah, dengan melanggar hukum, mengabaikan aturan norma, etika dan kepantasan, maka perjalan berikutnya akan banyak kesalahan yang dilukannya dan menganggap semua bisa dilakukan atas nama kekuasaan yang ada dalam genggamannya.
Bisa jadi langkah politik Prabowo tersebut sebagai turunan dari keputusan no 90 Mahkamah konstitusi yg meloloskan Gibran Rakabuming Raka,walau harus mencurangi undang-undang,penyelundupan hukum dan mengabaikan etika sama sekali.
Bukankah setelah itu kecurangan berlanjut, dengan begitu banyaknya alat negara yg ikut mensukseskan Paslon Prabowo-Gibran. Terlepas apapun hasil sidang MK atas sengketa Pilpres, imeg Pemilu curang sudah begitu melekat di masyarakat negeri ini.
Tidak netralnya presiden dan kepala negara, keterlibatan asosiasi kepala desa seluruh Indonesia atau Apdesi, keperpihakan para Pj kepala daerah, baik gubernur, bupati, walikota dan sejumlah kecurangan lainnya tidak lagi terbantahkan, bahkan oleh MK sekalipun, jika MK tidak mengabulkan gugatan Paslon nomor 01 dan nomor 03, Anies – Muhaimin dan Ganjar-Mahfud.
Jadi kalau saja Prabowo mengintervensi MK untuk meloloskan PPP,demi mencukupi kebutuhan koalisi, rasa-rasanya sangat masuk nalar, karena bukankah Paslon Prabowo-Gibran mengawali proses pertarungan pilpresnya dengan kecurangan, dengan putusan paman Usman dan kawan-kawannya yang ada di MK, yang semata hanya menguntungkan Gibran, di mana syarat minimal usia calon presiden dan wakil presiden 40 tahun, sementara Gibran belum berusia 40 tahun, tetapi dipaksakan oleh MK agar tetap sah secara hukum menjadi cawapres Prabowo.
Jadi mungkin rakyat Indonesia harus terbiasa melihat kecurangan, baik diawal, pertengahan, maupun akhir pemerintahan. Wallahu a’lam.