Tentu saja keputusan MK, yang diwarnai sikap dissenting opinion oleh tiga hakim, yaitu Saldi Isra, Arief Hidayat dan Enny Nurbaningsih, melegakan para penyelenggara pemilu, baik Komisi Pemilihan Uumum (KPU), Bawaslu dari tingkat pusat sampai jajaran terbawahnya serta Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Oleh : Komarudin Daid | Sekretaris DPC PKB, Jakarta Barat.
PKBTalk24 | Jakarta ~ Momentum yang ditunggu oleh rakyat Indonesia sudah selesai, yaitu keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengadili perkara sengketa pemilihan Presiden-Wakil Presiden (Pilpres) 2024.
Tepat di hari Senen (22/4/ 2024), MK memutus perkara gugatan Paslon nomor urut 01 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Paslon nomor urut 03, Ganjar Pranowo- Mahfud MD. Intinya MK menolak seluruh isi gugatan Paslon 01 maupun 03, sehingga kemenangan Paslon lainnya yaitu Prabowo Subiyanto – Gibran Rakabuming Raka menjadi sah secara hukum.
Putusan MK ini bersipat final and binding, yaitu mengikat dan langsung berlaku. Tidak ada lagi lembaga hukum lainnya yang berwenang mengadili perkara yang sama.
Tentu saja keputusan MK, yang diwarnai sikap dissenting opinion oleh tiga hakim, yaitu Saldi Isra, Arief Hidayat dan Enny Nurbaningsih, melegakan para penyelenggara pemilu, baik Komisi Pemilihan Uumum (KPU), Bawaslu dari tingkat pusat sampai jajaran terbawahnya serta Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Sebab dengan begitu, maka kerja keras mereka sejak persiapan sampai akhir penyelengaraan pemilu dianggap berhasil sesuai jalur.
Sebenarnya tidak mengherankan kalau MK menolak gugatan Paslon 01 dan 03. Penulis sudah menduga dari jauh-jauh hari. MK tidak akan berani memutus sesuai gugatan Paslon 01 maupun 02. Apalagi menganulir kemenangan Prabowo-Gibran dan melakukan Pilpres ulang, tanpa melibatkan Paslon Prabowo-Gibran seperti tuntutan Paslon Ganjar-Mahfud Md.
Berapa catatan penting
Keputusan ini, memberi pesan politik kepada kita tentang pentingnya kemenangan. Yang penting itu menang walau dengan cara apapun, karena pada akhirnya, MK sebagai garda terakhir yang memutus perkara Pilpres, tidak akan berani mengambil keputusan yang melawan fakta, yaitu kemenangan yang dimaknai sebagai refresentasi suara rakyat yang notabene suara Tuhan.
Segudang data dan fakta kecurangan tetaplah kedudukan awalnya sebatas pengakuan, klaim,pendapat bahkan sebagian menganggapnya sebagai tuduhan yang mengada-ada, bahkan fitnah dari paslon yang kalah bertanding, yang tidak mau mengakui kekalahannya.
Sebanyak dapat yang dilampirkan, tentu akan dianggap sulit untuk dianggap dan berubah statusnya menjadi fakta, sesulit memasukan tali tambang ke dalam jarum benang jahit. walaupun segudang data dan fakta sekalipun kita suguhkan di hadapan pengadilan.
Apalagi selama ini, belum ada yurisprudensi yang menjadi preseden hukum di negara kita, di mana pengadilan (MK) pernah menganulir kemenangan Paslon capres-cawapres atau menganggap kemenangan Paslon tertentu tidak sah secara hukum.
Karenanya, jaka mau menang, lakukan saja dengan cara apa pun. Bukankah ambisi politik bisa menghalalkan semua cara,yang penting tujuan tercapai, begitu yang pernah ditulis oleh Machiavelli dalam teorinya tentang kekuasaan. Sebuah ironis yang bisa terjadi dinegara penganut sistem demokrasi.
Jadi apakah imajinasi dan persepsi tentang kemenangan tersebut akan terus berlaku? Di mana pada akhirnya, yang penting adalah meraih kemenangan? Bukankah, yang sedang berkuasa, bisa dan bebas membangun opini dan narasi apapun, dan rakyat bisa dengan mudah digiring untuk mempercayai kepemimpinan di tangan penguasa? Rakyat lebih memilih Paslon kami ketimbang yang lainnya, rakyat sudah cerdas mana yang harus dipilih dan mana pula yang harus diabaikan, dan segudang narasi kemenangan bisa dimainkan.
Pada saat yang sama, bukankan tidak mengakui “kemenangan” yang diraih dengan mengahalalkan cara, akan sama dengan tidak mengakui suara rakyat yzng dianggap suara Tuhan. Sementara keputusan pengadilan itu sendiri juga dianggap mewakili Tuhan, karenya keputusannya pun harus sejalan dengan suara rakyat yang juga suara Tuhan.
Di pihak lain, yang kalah, sepandai apa pun membuat narasi kecurangan, tetaplah tidak mampu mengungguli narasi kemenangan, tidak punya efek signifikan bahkan kepara pendukungnya sekalipun, karena banyak rakyat yang tidak mau tahu, tidak mau ambil pusing, mereka sebatas mencoblos Paslon yang disukainya di bilik suara, dan hanya berharap menang pada saat itu juga, titik.
Setelah itu, tidak mau tahu dengan hal-hal di luar pemilu atau Pilpres, dan segala hiruk-pikuknya setelah mencoblos, apalagi sampai gugat-menggugat berlanjut ke jalur hukum.
Sebab, sebagai awam tentu mereka merasa itu bukan urusannya lagi. Mereka sudah sibuk dengan urusan harian yang mereka hadapi dan itu sangat menyita waktu,tenaga dan bikin pening kepala.
Sikap apatis rakyat dan simpatisan
Rakyat sudah pusing dengan realita hidup yang setiap hari menghimpitnya. Persoalan kenaikan harga bahan pokok, naiknya BBM, sulitnya dapat pekerjaan, biaya hidup yang makin mahal, pendidikan dan masalah lainnya, semua dihadapi sendiri tanpa kehadiran negara untuk menjawab problematika yang di hadapi.
Pada akhirnya, sebagian rakyat, mereka hanya bisa pasrah atau bisa jadi putus asa, masa bodoh siapa pun presidennya yang penting sembako murah, BBM murah, kerja mudah, kredit rumah gampang, biaya hidup murah dan lain-lainya.
Memang masih ada yang tersisa dari pendukung Paslon yamg kalah, yang tetap ngotot bahkan tidak menerima kekalahan jagoannya, tetapi jumlahnya makin hari makin menyusut yang terseleksi secara alamiah. Kelompok ini pun pada akhirnya akan diam karena sekeras apapun, suaranya akan sia-sia. Apalagi setelah MK memutus perkara Pilpres dan kemenangan ada di tangan Paslon capres-cawapres Prabowo-Gibran.
Apapun hasilnya, inilah halangan rumah besar kita Indonesia, yang dibangun di atas pilar demokrasi. Ke depan tentu kita berharap kualias demokrasi di Indonesia akan semakin baik. Pesepsi tentang pentingnya demokrasi dan Pemilu yang jujur, adil, dan berintegritas semakin membaik.
Pada akhirnya, kita harus mengakui kemenangan Prabowo-Gibran dan menerima kekalahan Paslon lainnya. Saatnya berpikir ke depan, membangun negeri tercinta Indonesia secara bersama.
Pemilu 2024 dengan segala hingar- bingarnya sudah berakhir. Saatnya kembali merajut persatuan dan kesatuan antar anak bangsa, yang sempat koyah oleh kerasnya persaingan politik, demi rakyat dan bangsa ini yang menanti adanya kehidupan yang lebih baik.
Siapapun yang menjadi nahkoda dari bangsa sebesar Indonesia, yang penting mampu membawa bangsa ini kepada kemakmuran rakyatnya, Indonesia bermartabat bukan hanya diakui, tetapi juga disegani di tengah percaturan glogal di antara negara-negara lainnya. (***)
Opini merupakan pendapat dan pikiran dari penulisnya tentang beragam masalah, isu, dan tema yang bersifat urgen dan memberi makna bagi khalayak. Bersifat analisis, ilmiah dan disertai data atau fakta. Disajikan secara populer, dan tidak mengandung unsur SARA. Isi di luar tanggung jawab redaksi.