Kegelisahan warga Nahdliyyin bahwa Kiai Akhyar dan Gus Yahya berpolitik praktis, dikarenakan wahana politik praktis PBNU bukan partai politik milik warga NU sendiri. Sebaliknya, PBNU menunggangi partai politik milik orang lain dan Capres-cawapres yang bukan kader dan tidak ada bau-bau NU-nya.
Oleh: KH Imam Jazuli, Lc. MA.
PKBTalk24 I Cirebon ~ Beberapa hari yang lalu, viral berita sebagian warga NU di Jogjakarta, berkumpul dan membuat rekomendasi, yaitu menolak PBNU yang terjun ke politik praktis. Mereka menilai PBNU di era kepemimpinan KH Miftachul Akhyar dan Gus Yahya Cholil Staquf telah jauh melenceng dari Khitthah 26.
Sebenarnya, perlu ditegaskan lagi kembali ke Khitthah 26 bukan apolitis an sich, tetapi juga bukan berpolitik serabutan. Kembali ke Khitthah sejatinya adalah membela kepentingan warga Nahdliyyin melalui sarana partai politik milik warga Nahdliyyin sendiri.
Kegelisahan warga Nahdliyyin bahwa Kiai Akhyar dan Gus Yahya berpolitik praktis, dikarenakan wahana politik praktis PBNU bukan partai politik milik warga NU sendiri. Sebaliknya, PBNU menunggangi partai politik milik orang lain dan Capres-cawapres yang bukan kader dan tidak ada bau-bau NU-nya.
Walaupun Kiai Akhyar dan Gus Yahya menjadi “invisible hand” bagi Paslon 02 Prabowo-Gibran, sebenarnya hal itu bisa dibenarkan dalam sudut pandang kembali ke Khitthah. Hanya saja, kebenarannya masih 50%, dan 50% sisanya salah.
Menjadi “invisible hand” bagi Kiai Akhyar dan Gus Yahya sudah benar, karena tidak mengubah organ NU sebagai partai politik namun tetap berpolitik. Hanya saja, ketika telah terjun ke politik praktis awalnya dengan cara “Sirron” (diam-diam) dan terakhir mulai “Jahr” (terbuka) dengan menggerakkan seluruh struktural, kendaraan yang dipilih tidak sesuai dengan spirit Khitthah 26.
Berpolitik Melalui Wahana Politik NU
Kiai Akhyar dan Gus Yahya berpolitik praktis baik secara diam-diam dan terbuka dengan memberikan dukungan penuh kepada paslon 02 dari Gerindra. Padahal, Prabowo-Gibran bukan kader NU dan Gerindra dan pendukungnya bukan partai NU.
Pilihan semacam itu adalah alasan satu-satunya mengapa politik praktis PBNU tidak sejalan dengan Khitthah 26. Seandainya, Gus Yahya dan Kiai Akhyar memberikan dukungan pada PKB dan Muhaimin Iskandar maka keputusan itu akan menjadi benar 100%.
Ada dua alasan: pertama, PKB adalah partai politik yang lahir dan dilahirkan oleh alim ulama NU. Kedua, Muhaimin Iskandar adalah kader terbaik NU hari ini. Dengan mendukung PKB dan Muhaimin Iskandar maka Gus Yahya dan Kiai Akhyar bisa sepenuhnya disebut menjalankan amanat Khitthah 26.
Sampai detik ini, tidak ada kader NU satupun yang memiliki kualitas seperti Muhaimin Iskandar. Dia menjadi pemimpin partai politik, dan juga memiliki mental berkualitas tinggi, sehingga berani mencalonkan diri sebagai pimpinan tertinggi di negara ini.
Sebaliknya, apabila Gus Yahya dan Kiai Akhyar menggerakkan struktural NU mendukung Paslon 02 maka ini akan menjadi preseden buruk, seakan-akan melegitimasi bahwa tidak seorang pun kader NU yang memiliki kualitas memimpin negara ini. Sehingga NU harus gandolan ke ujung celana dan sepatu kader orang lain.
Berpolitik Demi Tujuan Jangka Panjang, Bukan Pendek
Seandainya Gus Yahya dan Kiai Akhyar betul-betul berhasil mengantarkan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka menjadi RI 1 dan RI 2, maka upah maksimum yang mungkin diperoleh oleh PBNU-nya Gus Yahya dan Kiai Akhyar adalah konsesi tambang, jabatan menteri dikabinet, Anggran APBN Tahunan untuk Ormas NU atau proyek-proyek kecil berikutnya.
Namun, hal itu akan dibaca secara negatif oleh warga NU dan pihak-pihak di luar NU bahwa struktural NU lebih-lebih pemimpin mereka bisa dibeli. Orang-orang NU akan dicap tidak berkualitas secara mental maupun politik. Mereka tidak mampu mengantarkan kader mereka sendiri menjadi pemimpin negara. Mereka hanya mampu menjadi penarik andong politik orang lain dan hanya sebagai blantik politik. Ini adalah Bukti sangat nyata Mental Inlander masih menghinggapi elit NU khususnya Rois Am dan Ketum.
Berpolitik praktis dengan tujuan jangka pendek, seperti itu, betul-betul menghina martabat kader NU. Andaikan Gus Yahya dan Kiai Akhyar berhasil memenangkan Prabowo-Gibran, itu sama saja menginjak-injak kualitas kader NU. Dan sejak hari ini, tahun 2024, sampai selanjutnya, jangan berharap ada kader NU memiliki keberanian maju jadi capres atau cawapres seperti Muhaimin Iskandar. Dan stigma yang berkembang saat ini bahwa *elit NU gampang dibeli* benar adanya. Wallahu a’lam bis shawab.
___
(*Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.