Jakarta akan tenggelam. Tapi ada beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk menyetop musibah ini.
PKBTalk24, Jakarta ~ Berbagai bencana terjadi belakangan ini, khususnya di Jakarta. Mulai dari amblesnya badan jalan di RE Martadinata juga turunnya pelataran dermaga A di pelabuhan Pasar Ikan Muara Angke. Berbagai tempat yang dulunya bebas dari banjir seperti Cilincing, Pademangan, dan Penjaringan kini ikut terendam banjir rob (pasang laut). Beberapa gedung juga terdeteksi semakin miring. Semua itu diduga sebagai akibat turunnya permukaan tanah. Benarkah demikian, dan bagaimana cara mengatasinya?
Proses Alami
Penurunan tanah, menurut Dr Ir Arie Herlambang, Msi, Kepala Bidang Pengembangan Teknologi Pengendalian Pencemaran Lingkungan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), sebenarnya adalah proses alami. ”Penurunan tanah adalah bagian dari proses pengendapan, pengerasan, dan pelapisan batuan. Sejak terjadinya lapisan tanah di Jakarta ini jutaan tahun lalu, diperkirakan telah terjadi penurunan tanah sebanyak 200-300 meter,” katanya.
Tentunya, kecepatan penurunan tanah ini berbeda-beda di setiap daerah. Daerah delta sungai, misalnya, yang bagian bawah permukaan tanahnya adalah sedimen lunak, cenderung mudah turun ke arah laut. Begitu juga lapisan tanah berkapur yang cenderung mudah ambles akibat tergerus air. ”Tapi kalau lapisan tanahnya tersusun dari batuan vulkanik (berasal dari gunung api), enggak mungkin ambles secara tiba-tiba. Penurunannya terjadi secara perlahan-lahan,” kata Arie.
Selain akibat proses pengendapan batuan, Danny Hilman Natawidjaja, PhD, peneliti bidang geoteknologi dari LIPI, menambahkan bahwa beberapa faktor alami lain yang menyebabkan penurunan tanah seperti aktivitas tektonik, aktivitas tremor gempa yang menyebabkan terjadinya proses peluluhan di bawah permukaan tanah.
Danny juga mengingatkan, bahwa fenomena global warming pun ikut andil dalam hal ini. ”Global warming yang membuat mencairnya es di kutub menyebabkan muka air laut meningkat secara global. Tak hanya di Jakarta atau Indonesia, tapi di semua tempat di dunia,” ia menjelaskan. Peningkatan permukaan air laut ini membuat permukaan tanah menjadi lebih rendah dari laut (seolah-olah turun).
Aktivitas manusia ikut andil
Di luar faktor alami tersebut, baik Danny maupun Arie tak memungkiri bahwa ada aktivitas manusia yang juga ikut andil dalam mempercepat proses penurunan tanah ini. ”Pembangunan yang dilakukan secara besar-besaran menambah beban yang ditanggung oleh permukaan tanah,” kata Danny.
Sebenarnya, menurut Arie, ada aturan khusus yang menyebutkan bahwa pendirian apartemen, gedung perkantoran, dan bangunan-bangunan tinggi lainnya diharuskan berada di atas formasi tanah dan batuan yang padat dan stabil.
Jika aturan ini dipatuhi, maka yang menjadi masalah tinggal penggunaan air tanah yang dilakukan oleh pengguna gedung-gedung tersebut. ”Seharusnya sekarang semua menggunakan air PAM saja. Penggunaan air tanah, termasuk dengan alasan untuk kebutuhan darurat, ditiadakan saja,” tegasnya.
Ditambahkan oleh Arie, ”Penyedotan air tanah yang berlebihan juga menyebabkan terbentuknya rongga kosong di dalam tanah.”
Sebenarnya, jika rongga ini segera terisi air lagi, tidak akan terjadi masalah. Apalagi, dengan kadar curah hujan yang cukup tinggi. Untuk Jakarta, misalnya, kadar curah hujannya adalah tiga juta meter kubik per tahun. Sayang, ruang terbuka hijau yang memungkinkan penyerapan air hujan ke dalam tanah kini tak cukup tersedia. Menurut data Institut Hijau Indonesia, ruang terbuka hijau yang pada tahun 1984 masih sebesar 28,8% di Jakarta, pada tahun 2007 saja diperkirakan tinggal 6,2%.
Sayang, ruang terbuka hijau yang memungkinkan penyerapan air hujan ke dalam tanah kini tak cukup tersedia.
Akibatnya, rongga kosong akibat pengambilan air tanah yang tidak terisi air lagi inilah yang kemudian menyebabkan penurunan tanah. Permukaan tanah di atasnya akan mengisi rongga tersebut untuk mendapatkan kondisi yang mampat/padat.
Waspada bencana!
Hal yang harus diwaspadai akibat penurunan permukaan tanah ini adalah bencana yang mengintai di belakangnya. Amblasnya jalan, banjir yang meluas, adalah beberapa di antaranya. Arie juga mengingatkan kemungkinan kerusakan bangunan di atas tanah yang rawan mengalami penurunan. ”Beberapa bangunan di kawasan Jakarta Pusat sekarang ini kondisinya miring akibat penyedotan air tanah secara besar-besaran,” katanya mengingatkan.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh tim dari Institut Teknologi Bandung (ITB) beberapa waktu lalu menyimpulkan bahwa setiap tahun permukaan tanah di Jakarta turun 12 cm. Sementara, menurut penelitian Prof Safwan Hadi dan tim dari Pusat Studi Oseanografi Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB, kenaikan permukaan laut di Jakarta rata-rata adalah 0,57 cm/tahun.
Berdasarkan data tersebut, kemudian Safwan membuat simulasi penghitungan hingga tahun 2050, dan diperkirakan ada 4 kecamatan, yaitu Penjaringan, Pademangan, Ancol, Pluit, dan Kamal Muara yang rawan tergenang air sepanjang tahun. (Kompas 27 September 2010).
”Perkiraan naiknya permukaan laut akibat global warming juga masih belum pasti. Kalangan yang optimis mengatakan kenaikan permukaan laut hanya puluhan sentimeter pada 50-100 tahun mendatang, sementara kemungkinan terburuknya diprediksikan hingga 6 meter. Jika itu terjadi maka sebagian kota Jakarta, dan daerah-daerah lain bisa hilang!” tegas Danny.
Apa yang bisa kita lakukan?
Jika kita tak berusaha untuk memperlambat penurunan tanah, maka tenggelamnya sebagian kawasan bumi ini tentu akan semakin cepat terjadi. Sebenarnya, ada beberapa hal bisa kita lakukan:
1. Tidak lagi menggunakan air tanah.
”Masyarakat seharusnya disadarkan untuk tidak lagi menyedot air tanah untuk keperluan sehari-hari. Namun, tentu saja pelayanan PAM harus diperluas dan diperbaiki,” kata Arie.
2. Membuat lubang biopori
Lubang biopori dibuat di dalam tanah dengan diameter sekitar 10 cm dan kedalaman 100 cm. Lubang ini kemudian diisi dengan sampah organik, untuk mendorong terjadinya biopori, yaitu liang-liang kecil yang dibuat oleh fauna di dalam tanah (Lihat Nirmala Agustus 2010, ”Mengapa Tidak Buat Lubang Resapan Biopori Saja?”).
3. Membuat sumur resapan
Sumur resapan adalah sistem resapan buatan yang berfungsi untuk menampung air hujan, sehingga tidak hanya mengalir ke selokan dan kemudian menuju sungai, atau bahkan menyumbangkan banjir, tapi bisa masuk ke dalam tanah dan menjadi cadangan air tanah.
”Volume air yang tertampung di sumur resapan sebaiknya sama dengan luas tanah yang tertutup beton dan semen,” kata Arie. Setiap 1 meter persegi sumur resapan bisa menampung sekitar 40 liter air. Karena itu, Arie menyarankan agar sumur resapan dibuat secara massal di pemukiman. Jika tak lagi tersedia lahan terbuka, maka sumur resapan bisa dibuat di bawah jalan-jalan perkampungan.
4. Injection well.
Injection well adalah sebuah pipa yang dimasukkan ke dalam rongga kosong di bawah permukaan tanah, yang berpotensi untuk mengalami proses pemampatan. ”Rongga yang kosong itu diisi dengan cairan atau materi lain yang dimasukkan dengan tekanan tinggi,” demikian keterangan Arie.