Karena itu, tanpa ikut campur instruksi dari PBNU – pun bagi warga PKB yang cerdas niscaya kendaraan politiknya adalah PKB,”begitu ujar, KH. Anwar Zahid, Pengasuh Ponpes Sabilunnajah, Bojonegoro.
PKBTalk24, Jakarta ~ Belangan ini, kira melihat ada realitas yang muncul, sehubungan dengan wacana hubungan antara PKB dan NU Struktural. Sesuatu yang lumrah, dan biasa-biasa saja sejatinya di kalangan Nahdliyin-Nahdliyat dan PKB-yin dan PKB-yat…….namun bisa jadi tidak biasa bagi orang di luar sana…
Seolah sebagai sebuah kehebohan di terbacara – seolah-olah ada rivalitas antara PKB vis a vis PBNU, wabil khusus antara Gus AMI – Ketum DPP PKB dan Gus Yahya – Ketum PBNU…
***
Padahal dari sananya, PBNU sebagai Institusi kelembagaan – keagamaan memang sudah jelas memiliki khittah 1926, di mana sikap PBNU dalam berpolitik netral adanya – dalam artinya tidak memihak ke salah satu partai politik.
Itu, mengapa Gus Dur, dan para Kyai Sepuh di jajaran PBNU – kemudian mendirikan –partai kembangkitan bangsas (PKB). Tidak lain dimaksudkan sebagai wadah aspirasi politik warga Nahdliyin, secara kulturan.
“Karena itu, tanpa ikut campur instruksi dari PBNU – pun bagi warga PKB yang cerdas niscaya kendaraan politiknya adalah PKB,”begitu ujar, KH. Anwar Zahid, Pengasuh Ponpes Sabilunnajah, Bojonegoro.
Gus Yahya alias KH Yahya Cholil Staquf, pada muktamar di Bandar Lampung, memang kampanyenya, ingin menghidupkan Kembali spirit Gus Dur, yang kemudian, dimaknai ingin mengembalikan PBNU ke khittah 1926. Ini seolah mengandaikan, bahwa PBNU di bawah kepemimpinan sebelumnya telah cenderung di memihak pada partai politik tertentu, yaitu PKB
Meski dalam berbarai steatment-nya misalnya, KH Said Agil Sirarajd, menyatakan bahwa dukungannya terhadap salah satu calon pasangan PIlpres 2019 lalu adalah atas nama pribadi bukan atas nama PBNU.
Namun, orang di luar NU, toh tetap itu sebagai langkah politik kelembagaan, karena menganggap tidak bisa dipisahkan antara KH Said Agil sebagai Ketum PBNU dan sebagai pribadi.
***
Barangkali dalam kontek ini, Gus Yahya usai terpilih merasa Kembali menegaskan – KENETRALAN PBNU – dengan menyatakan bahwa PBNU tidak boleh menjadi alat politik PKB.
Sesuatu yang sebenarnya, pada awalnya dianggap sudah benar dan pas, oleh Gus Ami. “Sikap Gus Yahya itu sudah benar,”ujar Gus AMI.
Namun demikian, Gus Ami kemudian di kesempatan berbeda, menambahkan bahwa konstituen PKB sudah kuat, loyal, solid. Berbasis dara survai, Gus Ami bahkan menyatakan 13 juta masa PKB solid sampai ke bawah, bahkan tidak terpengaruh oleh statement Gus Yahya.
“Bahkan, Yahya Cholil Ketum PBNU ngomong apa aja terhadap PKB, enggak ngaruh sama sekali,” kata Muhaimin Iskandar dalam acara “Ngabuburit Bersama Tokoh” CNN Indonesia TV, Ahad (1/5/2022).
Di kalangan jurnalis, statement tersebut tentu saja menarik. Karena bisa menjadi bahan konten berita. Media dan antiviras social media kemudian, rame-rame membacanya seolah ada RIVALITAS antara Gus Yahya dan Gus Ami. Tak ketinggalan tentu saja para pengamat.
Suasana kebatinan para aktivitis PKB dan aktivis NU – yang paham dengan hal-hal ini, tentu saja adem-adem saja. Sebab toh, tentu saja, bagaimana pun, mereka menyadari bahwa walau bagimana pun, PKB adalah rumahnya sendiri dalam ranah poliitik. Bahkan Gus Yahya sendiri masih mengaku sebagai kader PKB.
***
Lalu bagaimana dengan rekasi dari para Kyai kulturan, sampai kemudian ada kaos bertuliskan uneg-unek, “NU Kultural wajib ber-PKB, Nu structural Sak, karepmu”
Boleh jadi, ini bentuk lelucon lain. Setidaknya untuk meramaikan suasana, dan agar para kyai dan ulama NU, jangan tinggal diam, melihat “wacana rivalitas yang sedang di bangun oleh pihak2 di luar sana…”.
Mungkin benar, kata Gus Ami, bahwa PKB sudah saatnya menyatu – menjadi kekuatan utama, dan bukan hanya menjadi kekuatan penentu. Tetapi sudah selayaknya tampil percaya diri menjadi Pemenang!. Toh, dengan begitu, bisa berbuat lebih banyak untuk membangun Negeri, dan lebih dari itu Menjaga benteng ASWAJA – secara poltilik. ***