Jakarta dilintasi oleh 13 Daerah Aliran Sungai (DAS), mulai dari Ciliwung, Pesanggrahan, hingga Sunter dan Angke. Sayangnya, hingga kini belum satu pun sungai ini dikelola dengan pendekatan ekosistem secara terpadu. Padahal, dunia sudah memberi banyak contoh bahwa sungai bukanlah sumber masalah, melainkan sumber peradaban.
Oleh: H. Tri Waluyo, S.H | Anggota Komisi C DPRD DKI Jakarta, Pemerhati Tata Kota dan Lingkungan, Tinggal di Pesisir Pantai Jakarta Utara
PKBTalk24 | Jakarta ~ Setiap musim hujan, Jakarta kembali dihadapkan pada wajah klasiknya: banjir, kemacetan, dan krisis air bersih. Meski berulang tiap tahun, solusi yang ditawarkan seringkali teknis dan jangka pendek—tanggul ditinggikan, sungai dikeruk, drainase diperlebar. Namun, kita luput memandang sungai sebagai bagian strategis dari pembangunan kota, bukan sekadar saluran air.
Jakarta dilintasi oleh 13 Daerah Aliran Sungai (DAS), mulai dari Ciliwung, Pesanggrahan, hingga Sunter dan Angke. Sayangnya, hingga kini belum satu pun sungai ini dikelola dengan pendekatan ekosistem secara terpadu. Padahal, dunia sudah memberi banyak contoh bahwa sungai bukanlah sumber masalah, melainkan sumber peradaban.
Dari Sungai Cheonggyecheon hingga Sungai Nil
Ambil contoh Sungai Cheonggyecheon di Seoul, Korea Selatan. Pada awal 2000-an, sungai ini hanyalah saluran air kotor yang tertutup jalan layang dan kumuh. Namun pemerintah kota di bawah kepemimpinan Walikota Lee Myung-bak kala itu mengambil langkah radikal: membongkar jalan layang, membebaskan sempadan sungai, dan mengembalikannya menjadi ruang publik hijau. Hasilnya? Selain mengurangi suhu mikroklimat kota dan banjir, Cheonggyecheon kini menjadi ikon wisata dan pusat ekonomi kota yang menghidupi ribuan UMKM.
Lalu lihat Sungai Nil di Mesir, yang sejak ribuan tahun lalu menjadi sumber kehidupan dan pusat budaya. Mesir kuno berkembang karena mampu menjadikan Nil sebagai sumber air, transportasi, irigasi, dan spiritualitas. Hari ini pun, modernisasi sistem kanal dan embung di sepanjang Nil masih menjadi tulang punggung ketahanan pangan Mesir.
Begitu pula dengan Sungai Eufrat, yang mengalir melewati Turki, Suriah, hingga Irak. Meskipun saat ini menjadi sumber ketegangan geopolitik, sejarah menunjukkan bahwa kawasan ini menjadi salah satu pusat peradaban kuno—Mesopotamia—karena sungainya yang subur dan sistem pengairan yang canggih. Artinya, sungai tak hanya membawa air, tapi juga kemajuan peradaban.
Jakarta: Sungai Masih Dipinggirkan
Bandingkan itu dengan Jakarta. Sungai-sungai kita justru jadi tempat pembuangan, terjepit bangunan liar, dan dikelola oleh terlalu banyak dinas yang bekerja sendiri-sendiri. Tidak heran jika banjir tetap datang, kualitas air memburuk, dan warga makin jauh dari sungai yang seharusnya menjadi bagian dari kehidupan kota.
Kita butuh lompatan kebijakan. Salah satunya adalah dengan menghadirkan Peraturan Daerah (Perda) Khusus tentang Tata Kelola 13 DAS di Jakarta.
Perda Sungai: Kenapa Penting?
-
Memberikan kepastian hukum dan arah pengelolaan DAS dari hulu ke hilir secara ekosistemik.
-
Menyatukan kewenangan yang selama ini tersebar di berbagai dinas—PU, lingkungan hidup, SDA, hingga pertamanan.
-
Mengatur tata ruang sempadan sungai secara tegas dan berkeadilan, agar tidak ada lagi alih fungsi liar atau pendudukan ilegal.
-
Memanfaatkan DAS secara produktif sebagai sumber air baku, ruang publik, koridor hijau, dan jalur transportasi.
-
Membangun kelembagaan khusus seperti Badan Pengelola DAS DKI Jakarta yang lintas sektor dan responsif terhadap tantangan iklim.
Kota Tanpa Sungai Adalah Kota Tanpa Masa Depan
Jika Jakarta ingin menjadi kota kelas dunia, maka sungai-sungainya harus menjadi pusat kehidupan. Bukan hanya drainase, tapi nadi kota. Kita tidak bisa lagi berpikir tambal sulam: perlu keberanian politik, visi ekologis, dan kerangka hukum yang kokoh. Perda DAS bisa menjadi awal perubahan.
Dengan mengelola sungai secara menyeluruh—dari Ciliwung hingga Angke—Jakarta tidak hanya mengurangi banjir, tetapi juga membuka peluang ekonomi baru, memperbaiki kualitas lingkungan, dan membangun identitas kota yang kuat.
Karena pada akhirnya, seperti Sungai Nil dan Eufrat, peradaban besar selalu tumbuh dari sungai yang dikelola dengan bijak. (***)
________
Penulis : H. Tri Waluyo, S.H | Anggota Komisi C DPRD DKI Jakarta, Pemerhati Tata Kota dan Lingkungan, Tinggal di Pesisir Pantai Jakarta Utara