Sikap dan sifat kepemimpinan yang miskin moral, fakir akhlaq, nihil kejujuran, ini jelas berpengaruh terhadap perjalanan kepemimpinan yang bersangkutan di tubuh PBNU. Terbukti, saat ini bagaimana Gus Yahya mengendalikan organisasi PBNU secara otoritarianisme serta tiadanya penghargaan terhadap bawahan.
Oleh : HRM. Khalilur R Abdullah Sahlawiy *
PKBTalk24 | Jakarta ~ Desakan Muktamar Luar Biasa (MLB) NU terus menggelinding bak bola salju. Sejumlah Kiai Khos dan Alim Ulama menggelar Musyawarah Besar (Mubes) Alim Ulama di kediaman Syaikhona Kholil di Bangkalan, Madura pada Minggu (18/8/2024).
Hadir dalam Mubes Alim Ulama antara lain, mantan Ketua PWNU Jatim KH. Marzuki Muktamar, KH. Abdussalam Shohib atau Gus Salam, KH. Imam Jazuli dan sederet kiai pengsuh pondok pesantren lainnya.
Para kiai tersebut berkumpul untuk mengambil sikap terkait persoalan di dalam organisasi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) beberapa waktu terakhir. Dari forum Mubes Alim Ulama di Bangkalan — yang merupakan awal dan cikal bakal lahirnya Nahdlatul Ulama (NU) tersebut — tercetus desakan MLB NU. Ada 7 butir tuntutan yang disebut sebagai ‘Amanah Bangkalan’. Salah satu poin dari 7 tuntutan tersebut mendesak segera digelar MLB NU.
***
Hanya berselang dua bulan setelah Muktamar ke-34 NU di Lampung selesai digelar (22-23/12/21) di kalangan terbatas melalui pesan WA dan video penulis menyampaikan sebaiknya segera digelar MLB NU – Muktamar Luar Biasa NU. Banyak yang menertawakan penulis.
Namun, dua tahun kemudian, banyak yang meminta penulis menyuarakan kembali MLB NU. Kali ini giliran penulis yang tertawa. Meski hanya dalam hati.
Mengapa dahulu penulis menyuarakan MLB NU? Semata-mata karena penulis risau melihat fakta bahwa ternyata kemenangan KH Yahya Staquf Staquf atau Gus Yahya di Muktamar ke-34 NU di Lampung, diiringi dengan nuansa “pengkhianatan” terhadap janji posisi Sekretaris Jenderal (Sekjen) yang sedianya akan diberikan kepada KH Abdussalam Shohib atau Gus Salam, namun kemudian justeru diberikan kepada Syaifullah Yusuf atau Gus Ipul yang juga keponakan Gus Salam.
Penulis mendapatkan cerita tersebut secara gamblang, di mana secara riil, Gus Salam kemudian lebih memilih mundur dari Wasekjen PBNU. Begitu juga KH Muhammad Abdurrahman Kautsar atau Gus Kautsar dari sebelumnya dijanjikan untuk duduk sebagai Sekjen PBNU.
***
Penulis kemudian menganalisis bahwa dari sinilah babad awal perseteruan dan kisruh kepengurusan di tingkat elit PBNU bermula. Bagi penulis, pengkhianatan dari Gus Yahya tersebut menandakan adanya problem etik dan moral.
Sikap dan sifat yang harus dimiliki bagi seorang pemimpin organisasi keulamanan, ternyata tidak terpenuhi oleh Gus Yahya karena sedari awal sudah berlaku tidak jujur. Penulis mengistilahkannya dengan fakir akhlaq.
Bagi penulis, sikap dan sifat kepemimpinan yang miskin moral, fakir akhlaq, nihil kejujuran, ini jelas berpengaruh terhadap perjalanan kepemimpinan yang bersangkutan di tubuh PBNU. Terbukti, saat ini bagaimana Gus Yahya mengendalikan organisasi PBNU secara otoritarianisme serta tiadanya penghargaan terhadap bawahan.
***
Perkiraan saya tepat, banyak Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) yang dibekukan, ditindas karena dianggap bukan orangnya. Mereka yang terpilih menjadi Pengurus PCNU haruslah orang-orang pilihan Ketum PBNU dan atau kelompoknya.
Kemudian, jika yang menang dan menjadi Ketua Tanfidz PCNU bukan kelompoknya, maka konferensi harus diulang dengan alasan dan dalih apapun, sampai yang terpilih adalah Ketua PCNU yang sesuai dan segaris dengan seleranya.
Di era kepemimpinan Gus Yahya, dipecatlah Gus Salam dari Wakil Ketua PWNU Jatim, dilanjutkan dengan pemecatan KH Marzuki Mustamar dari Ketua PWNU Jatim. Pembaca tentu masih ingat, dua sosok Kiai Pengasuh Pesantren besar ini, baru-baru ini digelari sebagai ‘pengangguran’ tidak punya pekerjaan oleh Gus Yahya.
Padahal, mereka berdua adalah Kiai Pengasuh Pesantren besar, yang bahkan pesantren yang diasuh oleh dua kiai tersebut lebih besar dari pesantrennya Gus Yahya. Bahkan, penulis mendengar kisah perjalanan Gus Yahya ke Israel, juga dengan sepihak mengatas-namakan pengurus PBNU ketika itu, lantaran yang bersangkutan membuat surat palsu atas nama PBNU hingga bisa melanggang ke Israel.
Atas perilaku ini, penulis ingin mengatakan, pemalsu Surat PBNU demi perjalanan ke Israel, berani mengatakan bahwa dua kiai besar Jawa Timur sebagai ‘pengangguran’ yang tidak ada kerjaan, ketika mereka hadir dalam acara Munas Alim Ulama di Bangkalan, Madura (18/8/2024).
Penulis sempat menanyakan soal pemalsuan surat PBNU tersebut kepada Buya KH. Said Aqil Siradj (SAS), yang pernah dalam satu kesempatan mengeluhkan perihal tersebut, lalu penulis bertanya, kenapa tidak ditegur keras saja, misal dengan memperkarakannya? Ketika itu, jawaban Buya SAS di luar dugaaan penulis, “kasihan NU-nya, biarkan saja,”ujar Buya SAS.
***
Pansus Haji pemantik ruwetnya jalan pikir elit PBNU
Sepanjang perjalanan kepengurusan PBNU di tangan Gus Yahya Staquf, PBNU lebih sering menghajar PKB, entah apa salah Gus Muhaimin pada Gus Yahya. Seolah-olah begitu kesal luar biasa pada Gus Muhaimin. Bahkan, hampir di banyak acara, teruama saat jelang Pemilu dan Pilpres 2024 lalu, PKB selalu dikuliti, dihantam, dianggap bukan bagian dari NU.
Jejak digital dengan gamblang merekam apa yang Gus Yahya sampaikan secara berulang kepada media bahwa NU telah mengambil jarak dengan politik praktis. Karena itu, kata dia, PKB bukan partai yang merepresentasikan NU.
“Enggak ada, enggak ada ( sudah keputusan bahwa PKB bukan merepresentasikan NU]. NU ini sudah keputusan Muktamar untuk mengambil jarak dari politik praktis, jadi semuanya sama saja,” kata Gus Yahya di salah satu kesempatan di forum Asean Intercultural and Interreligius Dialogue Conference (IIDC), Jakarta (Senin, 7/8/ 2023).
Namun, ternyata statement hanya tinggal statemen kosong belaka alias retorika – begitu kalau boleh disebut – hingga sampailah pada situasi terkini di mana ada situasi tercipta dengan lahirnya Pansus Haji, perlahan namun pasti, PBNU berubah haluan, seperti menjilat lidahnya sendiri dan menyatakan bahwa PKB adalah bagian tak terpisahkan dari PBNU.
Sungguh lucu sekali. Betapa tampak keruwetan cara berpikir elit-elit PBNU. Para pengurus struktural PBNU, Gus Yahya, Gus Ipul, Kiai Miftakhul Akhyar, Kiai Anwar Iskandar memang lucu. Menarik-narik, bukan hanya menarik gerbong PBNU ke ranah politik praktis, tetapi keluar dari khittah NU dan ucapannya sendiri.
***
Pembaca mungkin perlu mengenal atau membaca latar belakang tokoh-tokoh elit PBNU di atas, setidaknya menurut yang penulis ingin sampaikan, agar bisa menjadi bahan analisa terhadap keruwetan dan jalan piker para elit PBNU belakangan ini.
Gus Yahya Cholil Staquf, ayahanda beliau, Alm. KH. Cholil Bisri, tidak memilih KH. Abdurrahaman Wahid (Gus Dur), saat pemilihan presiden. Tetapi, justeru memilih Megawati di Sidang MPR.
Gus Ipul, malah lebih parah. Dipecat, Gus Dur saat menjabat sebagai Sekjen PKB. Namun, justru dibela oleh Alm. KH. Cholil Bisri, ayahanda Gus Yahya, dari pemecatan yang dilakukan oleh Gus Dur. Lebih parah lagi, Gus Ipul kemudian mendemo Gus Dur di depan Kantor PBNU.
Adapun, KH. Miftahul Akhyar, pesantrennya hanya seluas sekapling alias 200 M2. Saat PBNU menginisiasi lahirnya PKB, ia masih menjadi aktivis PCNU Surabaya. Bukan siapa-siapa, hanya kiai yang lancar ngantor ngurusi NU, sebab di pesantrennya tidak ada santrinya. Saat ini, bergaya, sok hebat pakai acara menyerahkan mandat.
Kiai Anwar Iskandar, politisi PKNU ini sama sekali bukan siapa-siapa saat PBNU menginisiasi lahirnya PKB. Anwar Iskandar adalah Politisi PKNU, partai yang terseret pada pusaran korupsi P2SEM, entah Anwar Iskandar kebagian apa tidak?
Lalu hari ini, politisi PKNU itu memanggil Gus Muhaimin Iskandar, Ketum PBNU, dan salah satu tokoh yang terlibat langsung dalam proses kelahiran PKB oleh PBNU waktu itu, untuk ditanyai kenapa menjauhkan PBNU dari PKB? Sementara dia adalah Politisi PKNU. Adapnya ada di mana? Penulis adalah orang yang dahulu, biasa “ngamplopin” acara-acara besar di PKNU.
***
Hemat penulis, kisruh PBNU dan PKB sebermula dari Pansus Haji ini. Jika berlanjut, kemudian ada temuan yang memberatkan, bisa menjadi penyebab lepasnya posisi Menag dan Ketum PBNU. Tidak bisa tidak, Dugaan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di pelaksanaan Haji 2024 hingga terbentuk Pansus Haji oleh DPR RI inilah yang kemudian memantik reaksi panas dari PBNU.
Saking panasnya, sampai terlihat ‘kebakaran’ lalu muncullah tuduhan partisan, Pansus Haji oleh Ketum PBNU dituduh sebagai “Alat Muhaimin Iskandar menghantam Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas” yang tidak lain adalah adik kandung Gus Yahya.
Tuduhan Gus Yahya ini kemudian viral dan dimuat di banyak media utama, dan terlanjur meng-Indonesia, meski kemudian diralat sendiri oleh Gus Yahya.
Paniknya PBNU dalam kontek ini terhadap terbentuknya Pansus Haji patut dicurigai, kenapa Ketum PBNU panik, ada apa? Kenapa Rais Aam PBNU panik, ada apa? Kenapa Sekjen PBNU panik, ada apa? Kenapa Ketum MUI, sekaligus Wakil Rais Aam PBNU panik, ada apa? Jawabannya biarlah Pansus Haji yang akan memberikan jawabannya.
Sebagai orang luar, tidak perlu kita su’uddzon menduga ada aliran dana ke Gus Yahya? Tidak perlu kita su’uddzon menduga ada aliran dana ke Kiai Miftahul Akyar. Tidak perlu kita su’uddzon menduga ada aliran dana ke Gus Saifullah Yusuf. Tidak perlu kita su’uddzon menduga ada aliran dana ke Kiai Anwar Iskandar.
Seandainya pun hal itu menjadi domain Pansus Haji untuk mengumumkannya. Pertanyaan di atas mari kita jawab dari sisi mempertahankan kekusaan di PBNU saja, bagaimana jawabannya? Sebab jika karena Pansus Haji kemudian Menag Gus Yaqut Cholil Qaumas menjadi “jelek” namanya dan karenanya tidak lagi menjabat sebagai Menag Kabinet mendatang; atau malah jabatan Menag, jatuh ke tangan tokoh yang merupakan rerpresentasi PKB, maka posisi Ketum PBNU di Muktamar ke-35 NU pada 2027, nanti lepas dari genggaman Kiai Yahya Cholil Staquf. Ambyar.
_______
HRM. Khalilur R Abdullah Sahlawiy | Penulis adalah Cicit ke-12 Sayyid Ali Murtadho Gresik dari Jalur Bapak. Cicit Pangeran Kanduruhan Raja Sumenep bin Sultan Fatah Demak bin Brawijaya V Majapahit dari Jalur Ibu.
Disclaimer :
Opini merupakan pendapat dan pikiran dari penulisnya tentang beragam masalah, isu, dan tema yang bersifat urgen dan memberi makna bagi khalayak. Bersifat analisis, ilmiah, dan disertai data atau fakta. Namun tidak jarang berupa pendapat subjektif penulisnya. Disajikan secara populer, dan tidak mengandung unsur SARA. Isi di luar tanggung jawab redaksi.