Dalam perspektif awam sebenarnya mudah terbaca bahwa manuver PBNU untuk mengambil alih PKB hanyalah sebuah perjuangan dari para pengurus yang haus kekuasaan untuk mempertahankan kekuasaannya di tubuh PBNU.
Oleh : Khalilur R Abdullah Sahlawiy *
PKBTalk24 | Jakarta ~ Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) berkali-kali menyampaikan menjauhi politik praktis alias tidak akan terjun langsung berpolitik. Namun secara faktual, PBNU justeru terlihat sangat telanjang dalam permainan politik praktisnya. Terkini, PBNU malah mengumumkan membuat panitia khusus (Pansus) untuk mengambil alih Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), kembali ke pangkuan PBNU.
Hal tersebut disampaikan secara langsung oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBNU, Syaifullah Yusuf (Gus Ipul). Bagi penulis, ini bisa dianggap sebagai tontonan yang tidak elok (memuakkan) dari para politisi berlatar ulama, yang gagal kembali meraih kedudukan di panggung politik.
Untuk langkah politis terakhir, ini PBNU bahkan secara formal menunjuk dua orang pengurus struktural PBNU menjadi anggota panitia khusus sebagai langkah atau rencana untuk mengambil-alih PKB. Kedua sosok tersebut ialah Kiai Anwar Iskandar dan Kiai Amin Said Husni.
Kiai Anwar Iskandar, Wakil Rais Aam PBNU adalah mantan politisi PKNU; partai yang didirikan dengan semangat menjadi alternatif terhadap PKB, yang awalnya dibentuk oleh PBNU, tetapi dianggap telah menyimpang jauh dari harapan anggota NU. Pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, PKNU melebur dalam Partai Kedaulatan Rakyat (PKR), tetapi gagal lolos sebagai peserta Pemilu.
Sejatinya, sepak terjang Kiai Anwar Iskandar di PKNU sudah lumrah dan banyak diketahui di kalangan nahdliyin. Jamak diketahui PKNU diduga identik dengan desas-desus korupsi dugaan penyelewengan bantuan dana hibah Program Penanganan Sosial Ekonomi Masyarakat (P2SEM). Entah Kiai Anwar Iskandar turut menerima aliran dana P2SEM atau tidak.
Bagaimanapun Kiai Anwar Iskandar adalah politisi, tepatnya ‘Kyai Politisi” alias kyai yang berpolitik. Berpolitik pada partai yang pembiayaannya diduga, sebagian besarnya berasal dari hasil korupsi, apa kiranya tidak ada amplop dari hasil korupsi P2SEM yang diterimanya?
Tentu Kiai Anwar Iskandar selaku politisi PKNU sering bertemu dan berdiskusi dengan mantan Ketua DPRD Jatim, Fathorrosjid, sosok yang menjadi sentral pembiayaan PKNU. Penulis sangat tahu alur ceritanya.
***
Lalu siapa Kiai Amin Said Husni? Dia adalah mantan politisi PKB dan mantan Bupati Bondowoso, dua periode. Jelas ia adalah seorang politisi, yang apakah bersih dari kasus korupsi semasa menjabat Bupati? Wallahu’alam.
Kepada dua orang mantan politisi, tepatnya dua mantan ‘Kyai Politisi’ ini, saat ini Ketum PBNU Gus Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) dan Sekjen PBNU, Gus Ipul memberikan mandat sebagai panitia khusus pengambil-alihan PKB. Tidakkah kita diingatkan, jika kedua tokoh elit PBNU ini adalah orang-orang yang dekat dan dibesarkan oleh KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dalam dunia politik?
Bahkan, jamak diketahui sosok Ketum PBNU Gus Yahya, dalam berbagai kesempatan dan saat masih sebelum menjadi Ketum PBNU merupakan sosok yang gemar ‘menjual ide-ide besar Gus Dur’ tentang demokrasi, toleransi, keterbukaan, moderasi, dan lain sebagainya.
Apalagi jelang Muktamar ke-34 NU di Lampung, Gus Yahya dengan terang benderang menjual jargon “Menghidupkan Gus Dur” seraya memasang foto dirinya mengenakan peci dan berbaju putih, lengkap bersanding dengan foto wajah Gus Dur.
Tetapi ironisnya, hingga detik ini malah terlihat, seolah hanya sibuk menjadi “Tim Hore dari Kelompok Politik” tertentu dan malah terkesan sama sekali tidak berkarya buat NU.
Sekjen PBNU, Gus Ipul, Walikota Pasuruan, yang juga Mantan Wagub Jatim, dan Cagub Kalah dari rival politiknya Khofifah Indar Parawansa di Pilgub Jatim 2018, kini menduduki posisi Sekjen PBNU, lantaran dianggap menelikung pamannya sendiri, kini malah menugaskan dua ‘Kyai Politisi’ untuk mengambil alih PKB. Penulis melihatnya sebagai tidak lebih dari dagelan murahan dari orang “Kalahan dan Figur Pengkhianatan”.
Kabinet Prabowo-Gibran dan Muktamar NU 2027
Penulis melihat peran yang dimainkan elit PBNU saat ini adalah lakon yang seolah demi menyelematkan posisinya dalam mempertahankan kekuasaannya di struktur PBNU. Juga tentu saja, demi menjaga peluang tetap menang pada Muktamar ke-35 NU di tahun 2027 nanti. Dalam perspektif awam, sebenarnya mudah dibaca bahwa manuver elit PBNU untuk mengambil alih PKB hanyalah sebuah perjuangan dari para pengurus yang haus kekuasaan untuk mempertahankan kekuasaannya di tubuh PBNU.
Ada nuansa di mana sebagian elit pengurus PBNU hari ini ketakutan, jatah Menteri Agama di Kabinet Prabowo- Gibran akan diberikan pada tokoh PKB. Lantaran jika posisi menteri Agama dijabat tokoh representatif dari PKB, bisa dipastikan suara PCNU dan PWNU yang dijabat oleh orang-orang Depag akan mendukung Calon Ketua Umum PBNU yang diusung oleh PKB.
Pangkal revalitas dimulai dari sini. Pada Muktamar NU ke-34 di Lampung, Ketum DPP PKB, Gus Muhaimin Iskandar abstain dan justru tidak memilih Kyai Said Aqil Siradj, dan justeru membiarkan ‘Pengikutnya’ memenangkan Gus Yahya.
Suara PKB yang memegang suara di PCNU dibiarkan netral atau kalaulah tidak – bisa dimaknai diarahkan mendukung untuk Gus Yahya. Hal ini dilakukan karena ada kesepakatan bahwa Kyai Abdus Salam Shohib akan dijadikan Sekjen PBNU mendampingi Gus Yahya.
Faktanya, Gus Ipul, keponakan Kyai Abdus Salam Shohib yang justeru menjadi Sekjen PBNU; Kyai Denanyar Jombang, itu ditelikung oleh keponakannya sendiri, yang bersepakat dengan Gus Yahya Staquf.
Padahal, tanpa pergerakan Gus Salam di Jawa Timur dan netralnya PKB di Muktamar ke-34 NU di Lampung, demi memberi jalan Gus Salam duduk sebagai Sekjen PBNU, Gus Yahya Cholil Staquf tidak akan mendapatkan banyak suara di Jawa Timur dan sama sekali tidak akan mendapat limpahan suara PKB di Muktamar ke-34 NU di Lampung.
Babad tengkar diawali dari ‘Dusta Posisi Sekjen PBNU’ ini. Posisi Sekjen dijanjikan pada Gus Salam, namun justru diberikan pada keponakan Gus Salam; Gus Saifullah Yusuf. Padahal, Gus Ipul oleh banyak tokoh di Jawa Timur, dianggap sebagai ‘barang amoh’ alias tidak laku.
Dusta Gus Yahya dan Gus Saifullah Yusuf pada Sepupu Gus Dur (Gus Salam) yang menjanjikan posisi Sekjen PBNU, lalu hanya diberikan posisi Wasekjen PBNU, disikapi dengan pengunduran diri Gus Salam dari posisi hiburan atas pengkhianatan yang dilakukan Gus Yahya dan Gus Ipul.
***
Masih ingatkah Anda pengunduran diri Gus Salam dan Gus Kautsar dari Posisi Wasekjen PBNU? Gus Salam dan Gus Kautsar adalah pendukung Gus Yahya di Muktamar ke-34 NU di Lampung. Mereka ini, Gus Muhaimin, Gus Ipul, Gus Kautsar, Gus Salam adalah para pendukung Gus Yahya di Muktamar Lampung.
Gus Muhaimin mendukung Gus Yahya, lantaran mendapat garansi bahwa Sekjen PBNU nantinya akan diberikan kepada Gus Salam, sepupu Gus Dur dari pihak ibu, yang sekaligus merupakan paman Gus Muhaimin Iskandar.
Penulis berdasarkan interaksi dengan internal darah biru NU, mengendus adanya dusta dan pengkhianatan Gus Yahya dan Gus Ipul pada penempatan posisi Gus Salam sebagai Wasekjen PBNU menjadi bibit dimulainya pertengkaran PKB dan PBNU.
Padahal, suara PKB di NU merupakan salah satu suara besar yang menyumbangkan kemenangan buat Gus Yahya, selain sumbangan suara dari suara NU di Departeman Agama (Depag). Suara NU di Depag dimobilisasi oleh Menag Gus Yaqut Cholil Qoumas untuk memenangkan Gus Yahya, yang tidak lain adalah saudara tuanya.
Kita tahu bahwa sumber dukungan suara untuk Gus Yahya di Muktamar ke-34 NU di Lampung berasal dari suara Depag yang dimobilisasi Menag Gus Yaqut Qoumas, suara PKB yang dibiarkan cair oleh Gus Muhaimin, suara dari Jawa Timur, yang dimobilisasi oleh Gus Kautsar dan Gus Salam.
Sumber suara penting untuk Gus Yahya lain berasal dari jaringan alumni pesantren besar, yang para pengasuhnya merupakan paman Gus Salam, seperti: jaringan pengasuh Pesantren Tebuireng, pengasuh Pesantren Lirboyo, pengasuh Pesantren Ploso, dan Pesantren Denanyar Jombang.
Pasca dusta yang dilakukan Gus Yahya dan Gus Ipul pada Gus Salam, hubungan mereka bertiga berlanjut menjadi pertengkaran. Pertengkaran Gus Yahya, Gus Ipul, dan Gus Salam bahkan terus berlanjut sampai pada pemecatan Gus Salam dari Wakil Ketua Umum PWNU Jatim.
Kepemimpinan Gus Yahya dan Gus Ipul di PBNU bukan hanya memecat Gus Salam, bahkan juga memecat Ketua PWNU Jatim KH. Marzuki Mustamar dengan alasan yang dibuat-buat.
Meraih PBNU Mengambilalih PKB
Menganalisa perjalanan duduknya Gus Yahya sebagai Ketum PBNU dengan merangkul Gus Muhaimin lalu ‘memukul’ Gus Muhaimin setelah duduk di posisi Ketum PBNU, bisa dimaknai sebagai dua langkah meraih posisi. Meraih kepemimpinan di PBNU sekaligus mendapatkan kesempatan mengambil alih PKB dari tangah Gus Muhaimin.
Strategi meraih kepemimpinan di PBNU dengan merangkul Gus Muhaimin dan Gus Salam lalu mengkhianatinya, kemudian malah akan mengambil PKB dari Gus Muhaimin setelah pengkhianatan pada kesepakatan pemberian posisi sekjen PBNU, sungguh langkah licik dan picik. Beraroma angkara murka dan durjana, jauh dari sikap ‘Kesatria’ dan watak atau karakter alim ulama.
Penulis menganalisis, jika Prabowo – Gibran memberikan Kursi Menag pada Tokoh PKB, maka bisa dipastikan Muktamar NU tahun 2027 mendatang akan dimenangkan Calon Ketum PBNU yang diusung atau didukung oleh Ketum PKB Gus Muhaimin.
Gus Yahya dan Gus Ipul akan kembali menganggur. Apalagi kalau Pansus Hak Angket Haji 2024 bekerja maksimal, lalu terbukti bahwa Gus Yaqut Cholil Qoumas dinyatakan melakukan mis-management dalam penyelenggaraan ibadah haji tahun 2024, maka bisa dipastikan kedua tokoh tersebut akan menjadi ‘Bangkai Politik’ alias tidak akan laku lagi, tidak layak untuk menjabat sebagai Menag lagi, sehingga perebutan kursi Menteri Agama akan semakin seru.
Mengetahui kondisi dan posisi seperti ini, Gus Yahya dan Gus Ipul tidak punya pilihan selain mengambil alih PKB. Tetapi, di saat bersamaan, kini ‘topeng’ kepentingan politis, elit-elit PBNU menjadi terbuka dengan terang benderang.
Terlihat kasat mata bahwa ternyata mereka yang mengaku ulama, seolah tidak ubahnya seperti manusia biasa yang serakah akan kuasa dan harta. Karenanya, sungguh ironis, mereka yang mau terlibat dalam pusaran perebutan PKB oleh PBNU. Wallahu’alam.
________
* Khalilur R Abdullah Sahlawiy | Penulis adalah Cicit Sayyid Ali Murtadho dari Jalur Bapak. Cicit Pangeran Kanduruhan Raja Sumenep bin Sultan Fatah Demak bin Brawijaya V Majapahit dari Jalur Ibu.
Disclaimer :
Opini merupakan pendapat dan pikiran dari penulisnya tentang beragam masalah, isu, dan tema yang bersifat urgen dan memberi makna bagi khalayak. Bersifat analisis, ilmiah, dan disertai data atau fakta. Namun tidak jarang berupa pendapat subjektif penulisnya. Disajikan secara populer, dan tidak mengandung unsur SARA. Isi di luar tanggung jawab redaksi.