Warga Nahdiyin di lapisan bawah, sering menjadi sasaran empuk para politikus haus kekuasaan. Suara mereka diburu karena terbilang mudah dan murah. Suara warga NU menjadi incaran Parpol, Caleg, Paslon Pilpres, dan cenderung menjelma menjadi “pasar gelap politik”, yang bisa mereka tukar dengan imbalan sejumlah uang yang tidak seberapa. Tetapi mereka tidak sadar, setelahnya nasib mereka sama, kembali seperti semula tanpa ada perubahan sama sekali.
Oleh : Komarudin Daid. Sekretaris DPC PKB Jakarta Barat
PKBTalk24, Jakarta ~ Partai Kebangkitan Bangsa atau PKB yang terlahir dari rahim Nahdlatul Ulama (NU) kini menghadapi kenyataan hilangnya pengakuan dari PBNU, yang notabenenya pernah melahirkannya. Ketum PBNU KH. Yahya Kholil Staquf (Gus Yahya) terang-benderang dalam beberapa kesempatan menyatakan jika PKB tidak ada hubungannya dengan NU.
Statemen serupa muncul bukan hanya dari Ketum PBNU. Suara senada juga keluar dari pengurus PBNU lain. Ada semacam koor yang diatur sengaja, berlapis dan terus menerus. Mereka secara kompak menghantam PKB dengan nada dan irama yang sama, yang memberi kesan adanya desain untuk menghantam Partai Kebangkitan Bangsa secara masif.
Memang, cara semacam ini dinilai cukup efektif karena datangnya dari pengurus PBNU, yang dianggap merepresentasikan figur-figur dengan integritas yang baik, karenanya pasti memiliki bobot yang beda dengan statemen yang datangnya dari selain mereka.
Jadi lebih berdampak dan masyarakat lebih mudah percaya. Dengan kata lain, bisa dibaca secara nalar awam, bahwa upaya mereka menggembosi PKB, akan memiliki dampak dan akibat yang lebih besar ketimbang jika dilakukan orang di luar pengurus PBNU, yang integritasnya masih dipertanyakan atau belum diketahui.
Kini pengurus NU pada jajaran di bawahnya, mulai tingkat provinsi, kabupaten/kota sampai tingkat kecamatan hingga ranting (Kelurahan) sampai anak ranting (RW) sudah terbaca memainkan “nyanyian” yang sama yaitu malakukan serangan terhadap PKB, dan tidak sedikit masyarakat mempercayainya.
Begitu juga dengan beberapa badan otonom atau banom NU, juga tidak kalah ganasnya “menghantam” PKB. Sama seperti para elit NU, mereka seperti melakukan copy paste – sekadar meneruskan statemen yang serupa bahkan kadang melebihi apa yang dilakukan para elit NU saat melakukan serangan terhadap PKB.
Sejarah berdirinya PKB
Sejatinya, jika kita mau jujur membaca sejarah lahirnya PKB sangatlah gamblang, terang benderang, jika PKB lahir dari rahimnya Nahdlatul Ulama. Jejak sejarah menunjukan bagaimana proses lahirnya PKB dengan terlibatnya pengurus PBNU secara langsung. PBNU secara organisasi membentuk Partai Politik yang kemudian kita kenal bernama Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dengan membentuk Tim lima dan tim Asistensi.
Adapun nama-nama tim lima adalah KH. Ma’ruf Amin, KH.M .Dawam Anwar, KH.Said Agil Siroj, KH. Rozi Munir, KH.Ahmad Bagja. Kesemuanya adalah pengurus PBNU, baik dijajaran Suriah maupun Tanfidziah. Tugasnya adalah mengatasi hambatan organistoris antara NU dan partai yang akan dibentuk yang kemudian keta kenal dengan Partai Kebangkitan Bangsa atau PKB.
Selain membentuk panitia lima, PBNU juga membentuk tim asistensi atau yg dikenal juga dengan sebutan tim sembilan. Adapun panitia sembilan terdairi dari Arifin Junaedi (Ketua Tim Sembilan), Drs.Abdul Azis, Fahri Thoha Ma’ruf, Muhidin Arubusman , Andy Muarly, H.M.Nasihin Hasan, Lukman Saefudin, Amin Said Husni dan Muhaimin Iskandar yang sekarang menjadi Ketum PKB.
Tugas Tim Sembilan ini adalah membantu tim lima dalam mempersiapkankan berdirinya parpol baru, termasuk menginventaris usulan nama-nama partai yang masuk dari masyarakat.
Tim lima dan tim asistensi dalam melaksanakan tugasnya dibekali surat tugas dari PBNU. Surat tugas tersebut bernomor: 25/A.II.03/6/1998. Isinya adalah tim lima dan tim asistensi menginventarisir dan merangkum usulan warga NU mengenai pembentukan partai politik untuk mewadahi inspirasi politik warga NU.
Surat tersebut juga dibubuhi tanda tangan KH.Abdurrahman Wahid selaku Ketum PBNU, Muhidin Arubusman sebagai Wakil Sekjen, KH. Sahal Mahfud, Wakil Rois Aam dan Fahri Tolhah Ma’ruf, sebagai Wakil Khatib.
Selanjutnya ada kerlibatan KH.Abdurrahman Wahid (Gus Dur), KH.Ilyas Rihiyat, KH.Muhid Mujadi, KH.Munasir Ali, dan KH. Musthofa Bisri sebagai deklarator PKB, yang semakin mempertegas jika PBNU sangat serius dalam membidani berdirinya, PKB sebagai partai politik untuk saluran aspirasi warga NU ini.
***
Singkat cerita saat reformasi bergulir di tahun 1998, PBNU pun mendirikan PKB sebagai partai baru setelah sebelumnya sejak 1973, hanya ada tiga partai politik, yaitu, Golkar, PPP, dan PDI, yang kemudian pecah menjadi dua, dengan lahirnya PDIP.
Tidak hanya PBNU, saat itu PP Muhamadiyah, yang dipimpin oleh Prof. Amin Rais juga mendirikan Partai Amanat Nasional alias PAN. Sementara, kelompok yang masih menginginkan bangkitnya Masyumi, seperti Prof. Yusril Ihza Mehendra dkk, mendirikan Partai Bulan Bintang atau PBB.
Di pihak lain ada kelompok aktivis yang berideologi Ikhwanul Muslimin, saat itu mendirikan Partai Keadilan (PK), yang pada 2014, lalu berganti nama menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), oleh sebab pada Pemilu 2009, tidak lolos parliamentory Threshorld atau ambang batas perolehan suara minimal, sebesar 3 persen di DPR RI.
Ada juga kelompok masyarakat lain, dengan tujuan membentuk wadah aspirasi politik, lalu rame-rame mendirikan partai politik, menandai tumbuh suburnya kebebasan berserirkat dan berkumpul, siriring lahirnya era reformasi, misalnya ada Partai buruh Nasional, dan lain-lain.
Catatan pentingnya adalah Pemilu 1997 adalah Pemilu terakhir, sekaligus menandai berakhirnya rezim Soeharto, yang telah berkuasa selama 32 tahun, dengan peserta pemilu yang hanya terdiri dari tiga partai saja, Golkar, PDI, dan PPP. Pemilu 1999, kemudian menjadi awal tumbuhnya alam demokrasi, dengan diikuti oleh 48 partai politik, yang salah satunya adalah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). PKB dengan dukungan penuh warga nahdliyin atau warta NU, kemudian muncul sebagai pemenang ketiga, dengan perolehan suara mencapai 13 juta lebih, hanya kalah dari PDIP dan Golkar.
***
Khitah 1926 dan masa lalu politik NU
Sebagaimana kita ketahui, PBNU telah mengambil keputusan yang krusial. Pada Muktamar NU tahun 1984 di Situbondo, PBNU menyatakan kembali ke Khitah 1926. Artinya NU ke semangat Ketika NU pertama kali dilahirkan sebagai organisasi keagamaan yang tidak berpolitik praktis.
Pernyataan sikap Kembali Khitah 1926, bukan tanpa alasan. Sejak tahun 1973, NU dipaksa bergabung dengan PPP sebagai konsekwensi penyederhanaan partai politik yang dibuat di zaman Presiden Soeharto. Hanya ada tiga Parpol yang diakui pemerintah, yaitu PPP, PDI, dan Golkar. NU, yang sebelumnya menjadi salah satu partai politik, dilebur dalam fusi Bersama PPP, Permusi, Masyumi, Perti, PSII, dan kelompok aliran agama lain.
Sedangkan partai yang berhaluan nasional seperti PNI, Parkindo, Murba, IPKI, partai katholik dibagung dalam gerbong Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Pengecualian bagi Golkar, meski dinyatakan bukan sebagai Parpol alias hanya sebagai organisasi karya kekaryaan, tetapi bisa ikut Pemilu.
Pemerintah Orde Baru di bawah Presiden Soeharto, beralasan penyerderhanaan Parpol yang dianggap sehaluan, sebagai upaya untuk menciptakan stabilitas politik dan pembangunan yang berkelanjutan. Penyederhanaan partai di masa Orba, juga untuk memudahkan penguasa mengontrol kekuatan di luar pemerintah.
Lebih dari 10 tahun, NU bersama PPP, sejak 1973 – 1984. Tapi apa yang didapat jauh dari harapan. Di PPP, NU hanya difungsikan sebagai penyumbang suara terbesar saja. Kursi anggota dewan selalu pihak, lain yang menduduki.
Apalagi, jabatan menteri, jangan pernah bermimpi untuk mendapatkan. Padahal saat kampanye, justru warga NU yang dimobilisasi untuk membanjiri lapangan terbuka. Begitu pun, saat hari pencoblosan, warga NU yang paling banyak memberikan suaranya untuk PPP, sehingga popular anggapan Bersama PPP “NU hanya menjadi pendorong mobil mogok.”
Sumbangsih, suara warga NU untuk PPP ketika itu sangat besar, sehingga tanpa suara warga NU, PPP tidak akan bisa melaju sebagai mana mestinya. Dengan kata lain, warga NU yang menjadi bahan bakar utama PPP, sehingga sebagai sebuah Parpol, laju PPP bisa kencang. Namun setelah melaju, NU ditinggalkan begitu saja, bahkan tanpa ucapan terima kasih. Tragis memang.
Tidak hanya itu, efek lain yang tidak terbayangkan, membuat kiai-kiai NU yang terjun dalam politik praktis, menjadi tidak bisa fokus mengurusi pondok pesantren, sehingga banyak pondok pesantren yang terbengkalai ditinggal kiainya berpolitik; santri, tidak terurus, sementara bangunan gedung pondok pesantren tidak terawat sebagai mana idealnya.
Mundur jauh ke belakang, saat zaman orde lama, di mana NU saat itu bergabung ke dalam Masyumi atau Majelis Syuro Muslimin Indonesia. Nasib NU, sama tragisnya. Tidak jauh beda dengan saat NU berada dalam fusi Bersama PPP.
Tokoh-tokoh NU tidak kebagian jatah jabatan politik, baik di parlemen apalagi jatah menteri. Bahkan jatah menteri agama pun diborong habis oleh tokoh Muhammadiyah, sampai-sampai KH. Wahab Hasbullah marah besar, sehingga meminta NU menyatakan mundur dari Masyumi, pada Muktamar ke-19, di Palembang dan memutuskan menjadi partai politik sendiri.
Kemarahan KH Wahab Hasbullah meledak ketika dalam satu Rapat Pimpinan (Rapim), KH Wahab meminta NU keluar dari Masyumi saat itu juga. Hal itu, disampaikan saat ada peserta rapat lain, yang mengusulkan agar keputusan usulan disampaikan pada Forum Muktamar. Namun, KH Wahab, menolak dan bersikukuh agar NU keluar saat itu juga dari Masyumi dan akan mempertanggung jawabkan keputusan tersebut di forum Muktamar. Akhirnya, Muktamar ke-19, di Palembang menerima keputusan tersebut, sehingga secara resmi, NU menyatakan keluar dari Masyumi.
Itulah sekelumit cerita duka tentang nasib NU dipentas politik tanah air, baik ketika bersama Masyumi, maupun saat berada dibawah fusi PPP, sehingga tahun 1984, pada Muktamar di Situbondo, NU menyatakan keluar dari PPP, dan kembali kekhitah 1926, yaitu NU sebagai mana saat pertama berdiri, pada tahun 1926 sebagai organisasi Keagamaan.
***
Dalam sejarhnya, NU keluar dari Masyumi untuk menjadi partai sendiri, Partai NU di masa orde lama (Orla), maka di masa orde baru(Orba), NU keluar dari fusi Bersama PPP, untuk Kembali ke Khitah 1926, yang artinya NU tidak berpolitik praktis.
Pertanyaannya, apakah NU sudah benar2 kapok ikut dan terlibat langsung dalam pentas politik tanah air? Bukankah di dalam NU ada kaedah usul fiqih yang terkenal, yang menyebutkan, “Maalaayadroku kuluh laa yatroku kuluh”. Dalam artian, jika tidak bisa didapat seluruhnya, jangan ditinggalkan seluruhnya?
Ada anggapan jika kiai-kiai NU tidak mendapatkan jatah jabatan politis, lantaran dianggap tidak mampu, tidak cakap dalam berpolitik, sehingga seolah terus didorong untuk mengurusi dakwah atau pesantren saja.
Inilah yang menjadi pemicu keluarnya NU dari politik praktis, sehingga menjadi hambatan organisatoris sekaligus psikologis bagi PBNU untuk merespon kehendak warga Nahdiyin, yang menghendaki agar warga NU memiliki wadah dan saluran aspirasi politik sendiri, dengan membentuk parpol baru di era reformasi.
Siasat membentuk partai baru
Karena itulah PBNU membentuk panitia lima dan tim asistensi yang berjumlah sembilan orang seperti yang disebutkan di atas, agar langkah yang diambil di kemudian hari betul-betul telah melewati beragam-macam pertimbangan yang konferehensif.
Kalau melihat nama-nama yang muncul di balik pendirian PKB, jelas sekali bahwa jajaran ulama NU benar-benar turun gunung dalam melahirkan parpol yang sengaja, wabil khusus sebagai saluran aspirasi politik warga NU. Namun demikian sebagai mana dipahami NU juga sangat kental pemahaman dan komitmen kebangsaannya, karenanya partai yang kemudian terbentuk harus bersifat terbuka kepada seluruh rakyat Indonesia, terlepas apapun agama, suka, bahasa dan adat istiadatnya, sehingga kemudian lahirlah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), yang memiliki slogan antara lain, dari ulama NU untuk bangsa Indonesia.
PKB kemudian dideklarasi pada 23 Juli 1998 di Ciganjur, Jakarta Selatan. Disebutkan dalam deklarasi latar belakang berdirinya PKB, yang pada paragraf akhir deklarasi berbunyi, “Dengan memohon rahmat, taufiq, hidayah, dan inayah Allah SWT serta didorong oleh semangat keagamaan, kebangsaan, dan demokrasi, kami warga Jamiyah NU dengan ini menyatakan berdirinya partai politik yang bersipat kejuangan, kebangsaan, terbuka, dan demokratis yang bernama PARTAI KEBANGKITAN BANGSA (PKB).”
Keterlibatan langsung sesepuh NU, menandakan begitu pentingnya sebuah parpol untuk menampung aspirasi politik warga NU. Sudah terlalu lama warga NU numpang kendaraan politik orang lain, baik saat bersama Masyumi maupun PPP. Sebagai penumpang tentu memiliki resiko diturunkan di tengah jalan, selain itu wajar pula jika akhirnya tidak kebagian apa-apa, meski sudah berjuang mati-matian.
***
NU memiliki traumatik masa lalu. Di dua orde pemerintahan sebelumnya, Bersama Presiden Seokarno maupun Presiden Soeharto. Saat bersama kedua partai politik di atas, NU mengalami kekecewaan politik yang luar biasa, karena itu, setelah era reformasi, sementara kalangan menuntut NU untuk aktif kembali di kancah politik dengan membentuk partai sebagai mewadahi aspirasi politik warga nahdliyin.
Jumlah warga NU yang tidak sedikit memerlukan tempat bernaung. Suara mereka harus diakomodir dalam satu Parpol, sehingga tidak berserakan kemana-mana. Ketimbang orang lain yang menampung dan memanfaatkan suara mereka, alangkah lebih baiknya jika PBNU membuat Parpol, untuk mewadahi aspirasi politik nahdiyin, hingga akhirnya lahir PKB.
Logika NU tidak kemana-mana,ada dimana-mana
Istilah yang sangat populer dikalangan NU. Tidak kemana-mana, tetapi ada di mana-mana. Istilah ini berlaku sejak NU kembali ke Khittah 1926 pada tahun 1984.
Sejujurnya penulis mungkin gagal memahami maksud kalimat ini. Tidak ke mana-mana, tapi ada di mana-mana. Yang penulis pahami kalau tidak ke mana-mana, maka dia ada di satu tempat tertentu. Kalau ada di tempat tertentu, maka dia tidak ada di tempat yang lainnya lagi. Menjadi rancu dan membingungkan, kalau nyatanya malah ada di tempat lainnya atau ada di mana-mana.
Bisa jadi ada di tempat lain, tapi pada waktu yang berbeda atau tidak bersamaan. Tapi hal itu justru menunjukan inkonsistensi sikap. Kalaulah memang tidak kemana-mana, maka mestinya tidak ada di tempat lainnya walau dalam waktu yang berbeda.
Faktanya memang kita bisa buktikan. Keterlibatan ulama NU pada kontek politik praktis tetap saja selalu ada. Bedanya mereka tidak lagi menggunakan kendaraan NU. Mereka tetap membuka “lapak politik” demi melibatkan diri pada setiap momen Pemilu, termasuk Pilpres. Mereka melebur pada organ-organ baru agar bisa melibatkan diri pada setiap momentum atau hajatan politik.
Karenanya, kita sering mendengar deklarasi atas nama kelompok tertentu, atas nama kiyai atau ulama, kumpulan dai, ustad/ustazah atau komunitas majlis taklim, atau yang sejenisnya untuk mendukung Calon atau Paslon tertentu, mereka menyatukan diri pada organ-organ tersebut, yang dibuat secara sporadis dan hilang tanpa bekas setelah momentum politik usai. Sebab organ yang dibuat memang hanya untuk bisa melibatkan diri pada momentum politik tertentu saja.
Itu artinya hasrat politik “kaum Sarungan” tidak pernah mati oleh hambatan apapun, termasuk keputusan kembali ke Khittah 1926.
Begitu pula warga Nahdiyin di lapisan bawah, mereka menjadi sasaran empuk para politikus yang haus kekuasaan. Suara mereka diburu karena terbilang mudah dan murah. Suara warga NU menjadi incaran Parpol atau Caleg atau pun Paslon Pilpres, dan cenderung menjelma menjadi “pasar gelap politik”, yang bisa mereka tukar dengan imbalan sejumlah uang yang tidak seberapa. Tetapi mereka tidak sadar, setelahnya nasib mereka sama seperti sekelompok elit NU yang sudah diuraikan di atas, kembali seperti semula tanpa ada perubahan sama sekali.
Hemat penulis, cara seperti ini sebenarnya lebih banyak merugikan warga NU, karena tidak ada pihak yang bersedia memberi garansi dari sekian banyak suara yang disumbangkan ke partai, Caleg atau Paslon tertentu.
Tak heran, usai Pemilu, usai juga hubungan antara pemberi suara dengan penerima suara. Berlaku istilah jual-beli putus. Transaksi politik antara kedua belah pihak sudah selesai. Tidak ada lagi relasi yang tersambung antara kedua belah pihak, karena sejumlah suara sudah diganti dengan sejumlah materi.
Umumnya dalam bentuk uang. Nasib NU pun kembali merana, tidak lagi dilirik oleh mereka yang sudah menduduki kursi kekuasaan. Begitu seterusnya dari Pemilu satu ke Pemilu berikutnya.
***
Begitu banyak “tempat basah” yang seharusnya bisa dimasuki warga NU, tetapi selalu diisi orang lain. Sementara kebijakan yang dibuat oleh mereka yang menjadi pembuat kebijakan atas wasilah warga NU, seringkali merugikan warga NU itu sendiri. Melonjaknya harga sembako, naiknya harga pupuk untuk petani, naiknya BBM, atau sulitnya memperoleh rumah tinggal adalah sebagian contoh yang langsung dirasakan oleh warga NU.
Ini adalah konsekuensi karena NU tidak memiliki partai politik sendiri. Warganya bebas berkeliaran ke mana-mana. Masing-masing berimprovisasi sebebas-bebasnya, dengan caranya masing, yang penting terlihat dan dihitung oleh politisi agar dapat “kue politik” lima tahunan, yang nilainya tidak sepadan dan habis dalam sesaat, tetapi penderitaannya berlangsung lima tahun lamanya.
Maka bisa disimpulkan, bahwa nasib NU ketika numpang di Masyumi maupun di PPP, sama sekali tidak menguntungkan. Begitu juga ketika NU tidak punya partai sendiri, nasibnya juga sama, setali tiga uang. Tidak dapat apa-apa. Kalaupun dapat hanya asobah atau sisa-sisa “kue politik” semata.
Kiranya sudahlah tepat kalau pada saat revormasi 1998 banyak warga NU mengusulkan agar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mendirikan partai politik sendiri sebagai wadah untuk menampung aspirasi politik Nahdiyin dalam satu partai, dan hal tersebut direspon oleh PBNU dengan membentuk partai politik yang Bernama, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Hubungan PKB dengan PBNU
Saat PBNU dipimpin KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) PKB berdiri. Jadi jangan ditanya lagi soal bagaimana hubungan antara PKB dengan PBNU saat itu. Keduanya saling bersinergi hingga mampu mengantarkan KH.Abdurrahman Wahid ke kursi Presiden Republik Indonesia. Begitu juga di dua periode kepemimpinan KH. Hasym Muzadi, hubungan keduanya masih sangat harmonis.
Begitu juga di dua periode kepemimpinan KH. Said Agil Sirajd, hubungan PKB dengan tokoh-tokoh NU masih sangat baik. Bahkan kalau kita baca secara seksama, kelahiran UU Pondok Pesantren, lahir dari kerjasama antara NU dengan Fraksi PKB yang ada di DPR RI, sehingga lahirlah Undang-undang No.18 Tahun 2019, tentang Pondok Pesantren dan Dana Abadi Pondok Pesantren.
Lalu mengapa pada kepemimpinan PBNU hasil Muktamar Lampung ini, PKB mengalami hubungan yang tidak harmonis dengan NU. Ketum PBNU KH. Yahya Kholil Staquf (Gus Yahya) secara berulang-ulang, melontarkan statemen yang secara eksplisit mempertegas adanya disharmoni antara PBNU dengan PKB.
Gus Yahya malah tidak mengakui PKB sebagai bagian dari NU. Bahkan statemen beliau menegaskan kalau PKB sama sekali tidak punya hubungan dengan NU dalam bentuk apapun, termasuk hubungan historis, ideologis maupun hubungan kultural yang selama ini kita kenal.
Mustahil Gus Yahya tidak tahu latar belakang berdirinya PKB, karena beliau pernah jadi anggota DPR RI dari Fraksi PKB. Tidak hanya itu, beliau juga pernah menjadi Juru Bicara Presiden saat Gus Dur menjadi presiden, yang juga dari PKB. Itu Gus Yahya sudah cukup banyak mendapat berkah dari kehadiran PKB, tapi mengapa sekarang begitu sinis, bahkan terkesan memusuhi PKB yang pernah ikut membesarkan namanya.
Kalau sekedar tidak suka dengan PKB, dengan segala pertimbangan subyektivitasnya, silahkan saja. Siapapun boleh suka atau tidak suka dengan PKB, atau kalaupun tidak suka dengan kepemimpinan Ketum PKB, Gus Muhaimin ataupun pengurus lainnya, boleh-boleh saja, tetapi upaya untuk mengaburkan sejarah, seolah lahirnya PKB berdiri sendiri, tanpa ada hubungannya dengan NU, baik hubungan kultural, ideologis, dan historis adalah pengingkaran sejarah (ahystoris) jejak para pendahulunya di PBNU, yang jelas-jelas terlibat langsung atas kelahiran PKB, baik yang ada di tim lima, tim Sembilan, apalagi para deklarator PKB yang notabene para ulama sepuh di PBNU saat itu.
Menarik NU Kemasa lalu
Dari uraian di atas sudah cukup gamblang tergambarkan oleh kita, betapa nestapanya nasib NU di pentas politik tanah air, berulang kali dikadali oleh para politikus yang haus kekuasaan dan sangat paham bagai mana cara memperolehnya.
Memanfaatkan NU adalah cara yang paling efektif dan efisien, orang NU tidak rewel, tidak banyak tuntutan tapi sangat bisa diandalkan untku sampai pada kursi empuk yang mereka incar, maka kekuasaan yang menggiurkan itupun bisa mereka peroleh, persetan dengan nasib NU. Bukankah segala sesuatunya sudah diselesaikan dengan baik sebelum hari pencoblosan.
Walaupun begitu sepertinya masih ada pihak yang ingin mengulangi kembali penderitaan panjang tersebut, kembali ke masa lalu yang suram menyakitkan. Sebagai elit NU sudah sewajarnya membuka jalan pada ikhtiar politik yang ditempuh warganya lewat partai yang didirikan para pendahulunya.
Bukan malah berupaya menggembosinya. Minimal diam, agar tidak menimbulkan perpecahan di kalangan warga NU. Sudah cukup nestapa politik yang berpuluh tahun mendera warga NU.
Harapan baru
Kini memasuki Pemilu 2024, PKB tampil percaya diri. Terlepas dari cerita politik NU masa lalu dan tidak adanya pengakuan dari “orang tuanya” yaitu PBNU, apalagi Ketum PKB Gus Muhaimin di dapuk menjadi pasangan Cawapres Anies Baswedan atau AMIN.
Ada sejumput optimisme yang menyertai langkah menuju Pemilu 2024, baik legislatif maupun Pilpres. PKB menggerakkan seluruh potensinya untuk meraih prestasi terbaiknya dalam lima kali Keikutsertaanya pada ajang demokrasi di tanah air.
Berbekal pengalaman setelah empat kali ikut Pemilu, penataan organisasi dari seluruh tingkatan yang ada dan tampilnya sang Ketum PKB, Gus Muhaimin sebagai Bacawapres, melahirkan sebuah optimisme besar untuk menjadi pemenang Pemilu yang bermartabat. Semoga. AMIN.
Jakarta, Nopember 2023