- “Yang luar biasa, justru DPRD Tingkat 1 dan DPRD Tingkat 2, dulu 1700 sekarang 2114, ini bukan main kemajuannya,” katanya tentang fakta yang wajib disyukuri.
- Kalau politiknya hilang, maka ideologinya juga akan hilang, dan dimana-mana begitu. Maka saya heran jika ada orang mengaku ahli sunnah wal jama’ah tapi kerjanya cawe-cawe PKB,” tegasnya yang disambut tepuk tangan hadirin.
PKBTalk24 l Jakarta ~KH. Imam Jazuli, Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulua (Bima) 2, Cirebon, menjadi salah satu tokoh yang hadir dan memberikan testimoni di Harlah ke-26 Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), di Jakarta Convention Center (JCC) pada malam puncak peringatan Harlah PKB ke-26, Selasa (23 Juli 2024).
Tokoh kharismatis yang terkenal dengan slogannya “Ngaku NU Wajib Ber-PKB” ini sempat berseloroh di awal sambutannya, bahwa tirakatnya batal demi memenuhi undangan Ketum PKB Gus Muhaimin Iskandar.
“Tirakat saya yang sudah tujuh tahun tidak keluar dari pesantren, hari ini batal gara-gara permintaan Gus Ketum,” ucapnya mengawali testimoni yang disambut ‘gerr’ dan tepuk tangan hadirin.
Hadir di malam puncak Harlah ke-26 PKB, kader PKB seluruh Indonesia, juga para kiai sepuh dan kiai muda, tokoh politik, birokrat, pengusaha, profesional, tokoh masyarakat, dan para artis.
Terlihat hadir mantan Ketua PWNU Jatim, KH. Marzuki Mustamar, KH. Kafabihi, KH.Haidar Muhaimin, KH. Busyro Karim, KH. Ahmad Badawi, KH. Abdul Mun’im, KH. Syihabuddin Ahmad, Gus Kautsar, Gus Salam, dan lain-lain.
Tokoh partai nasional juga terlihat hadir, antara lain, Surya Paloh, Hidayat Nurwahid, Eros Djarot, Bambang Susatyo, Fadel Muhammad, dan lain-lain.
Sejumlah pimpinan partai juga hadir, seperti NasDem, PKS, PSI, Golkar, Gerindra, Partai Ummat, Demokrat, dan lain-lain. Tak terkecuali para menteri, ketua fraksi partai-partai di DPR RI, DPRD Tingkat Satu dan Tingkat Dua.
Ajak warga PKB bersyukur
Kiai Imjaz, begitu ia biasa disapa menyampaikan ajakan untuk bersyukur karena PKB memiliki ketua umum yang enerjik, smart, dan banyak akal sehingga prestasi PKB terus meningkat dari tingkat nasional sampai ke bawah.
Sang idiolog PKB, begitu ia dijuluki oleh para kader PKB, bahkan memaparkan sejumlah perkembangan signifikan di tubuh PKB.
Ia menyebutkan fakta bahwa jumlah kursi PKB naik dari 58 menjadi 68, dari 13 juta pemilih menjadi 16 juta, dan PKB juga mampu merebut hati masyarakat yang selama ini bukan kantong NU seperti NTT, Samosir, dan lain-lain.
“Yang luar biasa, justru DPRD Tingkat 1 dan DPRD Tingkat 2, dulu 1700 sekarang 2114, ini bukan main kemajuannya,” katanya tentang fakta yang wajib disyukuri.
Dinamika NU dan PKB, utamakan hubungan NU kultural
Sementara, saat menyinggung hubungan NU-PKB yang kerap kurang harmonis, Kiai Imam Jazhuli menyampaikan bahwa antara NU struktural dan NU kultural perlu dibedakan dan dipahami sebagai dinamika alamiah.
“Saya sampaikan, biarkan saja itu sebagai bagian dinamika, tapi yang terpenting buat kita adalah bagaimana memelihara hubungan dengan masyarakat kultural NU,” jelasnya.
Menurut Kiai Imjaz, kekuatan PKB yang utama justru di masyarakat kultural NU.
“NU struktural bisa diciptakan oleh siapa saja, NU struktural boleh ada desain, tetapi yang terpenting adalah bagaimana NU kultural tetap bersatu memenangkan PKB sebagai satu-satunya partai yang dengan jelas dan tegas memperjuangkan akidah ahlu sunnah wal jama’ah,” tegasnya.
PKB Satu-satunya partai jaga politik Aswaja
Belajar pada pengalaman sejarah bangsa-bangsa di dunia, terutama dunia Islam, Pengasuh Pesantren Bina Insan Mulia ini menyampaikan bahwa siapapun yang ingin mempertahankan ahli sunnah wal jama’ah, maka harus merawat kekuatan politiknya.
“Kalau politiknya hilang, maka ideologinya juga akan hilang, dan dimana-mana begitu. Maka saya heran jika ada orang mengaku ahli sunnah wal jama’ah tapi kerjanya cawe-cawe PKB,” tegasnya yang disambut tepuk tangan hadirin.
Kiai lulusan Al-Azhar Mesir ini kemudian memaparkan bukti-bukti sejarah di dunia. Al-Azhar Mesir itu dulunya adalah Syiah, tetapi karena kaum Sunni memenangkan pertarungan politik, maka Al-Azhar pun menjadi Sunni.
Demikian juga dengan Saudi Arabia yang awalnya Sunni, tetapi karena kekuatan Sunni kalah, maka dalam 100 tahun terakhir ini, Saudi bukan Sunni.
Hal yang sama juga terjadi di Turki. Di zaman Ottoman, Turki adalah Islam, tetapi karena politiknya kalah, Turki kemudian menjadi sekuler. Dan karena komunitas Muslim menang lagi politiknya, kini Turki mengalami perubahan dahsyat sejak zaman Erbakan hingga Erdogan ini.
“Maka ideologi ahli sunnah ini harus ditopang dengan kekuatan politik. Omong kosong bicara tentang peradaban dunia kalau politiknya acak-acakan,” katanya menegaskan. (***).