“Saya sebagai Muslim atau pemeluk agama tidak terima bila agama hanya berperan di bagian pinggir, bukan di tempat yang utama atau sentral,”ujar Gus Yahya di forum yang dihadiri sejumlah pemuka lintas agama dan aliran yang ada di Indonesia itu.
PKBTalk24, Surabaya ~ Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf menyebut fenomena hari ini, di mana agama tidak lagi menduduki posisi sentral dalam konsolidasi politik global. Berbeda dengan di masa lalu yang semuanya ketika mau melakukan konsolidasi politik atas dasar agama.
“Saat ini yang kita lihat dan alami, pertarungan nilai-nilai untuk konsolidasi tersebut. Dan pertarungan nilai-nilai itu saling bersaing di level gerakan sosial untuk mempromosikan nilai gagasan masing-masing. Tetapi yang memiliki pengaruh itu gagasan-gagasan atau nilai-nilai yang bersumber dari luar agama-agama,” ujar Gus Yahya saat membuka acara sosialisasi menuju ASEAN Intercultural and Interreligious Dialogue Conference (IIDC), di Surabaya, Kamis (15/6/2023).
Pertanyaannya, kata Gus Yahya, di mana kedudukan agama di dalam konstruksi tersebut? Apakah agama punya nilai yang layak? Sejatinya, agama sangat memiliki nilai tersebut. Namun, bila boleh dikatakan, ia masih disibukkan dengan konflik, baik antar agama atau kelompok berbeda dalam lingkup satu agama.
“Karena sebagian besar konflik masih berkaitan dengan agama. Itu terbukti dengan 34 titik di dunia di mana PBB mengirimkan tentara perdamaian, 26 konfliknya adalah konflik agama,” ungkapnya.
“Saya sebagai Muslim atau pemeluk agama tidak terima bila agama hanya berperan di bagian pinggir, bukan di tempat yang utama atau sentral,”ujar Gus Yahya di forum yang dihadiri sejumlah pemuka lintas agama dan aliran yang ada di Indonesia itu.
Berkaca para sejarah dan pengalaman peranan agama di masa lalu
Untuk itu, PBNU punya keyakinan untuk mengikhtiarkan sesuatu dalam mengatasi hal tersebut. Bahwa kalau agama ingin punya peran, maka agama harus mampu memecahkan masalah di antara mereka sendiri. “Kalau Sunni dan Syi’ah bertempur terus, siapa yang percaya Islam itu memperjuangkan perdamaian,” ujarnya.
Karena itu, yang ingin ditawarkan dengan ASEAN IIDC ini adalah wacana tentang pengalaman sejarah yang juga menjadi warisan peradaban bersama di lingkup kawasan Asia Pasifik. Yakni, sejarah kepemimpinan kerajaan Sriwijaya yang pusatnya di tepian Sungai Musi, Palembang.
“Peradabannya berhasil mempersatukan seluruh Nusantara dengan tetap mentolerir format-format politik masing-masing elemen di dalamnya,” kata dia.
Kerajaan Sriwijaya bertahan hingga 7 abad karena mengedepankan nilai-nilai toleransi dan harmoni. Hal yang sama juga terjadi dengan Kerajaan Majapahit. Ia tidak pernah memproklamirkan dirinya kerajaan yang berbasis agama, karena di dalamnya banyak rumpun agama.
“Kerajaan Majapahit bukan kerajaan agama, tetapi memproklamirkan konsep bhinneka tunggal ika,”ujar Gus Yahya di acara sosialisasi menuju ASEAN Intercultural and Interreligious Dialogue Conference (IIDC).
Sebuah acara yang bertujuan sebagai upaya PBNU dalam memfasilitasi dialog, konferensi budaya dan agama dunia.
Pada kesempatan tersebut, KH. Marzuki Mustamar, Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur, menceritakan senjumlah kekhasan lokal yang ada di tanah air. Kekhasan-kekhasan lokal itu menurutnya, bisa menjadi nilai lebih bagi keharmonisan masyarakat. Salah satunya soal bersih desa. “Saat bersih desa, yang lebih ditekankan adalah kebersamaan tanpa memandang latar belakang agama,” ujarnya.
Menurut Marzuki, salah satu kearifan yang ada pada tradisi bersih desa tersebut adalah penghargaan kepada umat Islam. “Khusus untuk penyembelihan hewan, warga di sana memasrahkan kepada tokoh agama Islam,”jelasnya.
Apa yang terjadi di wilayah tersebut ujarnya, merupakan bentuk penghormatan terhadap pengalaman keberagamaan yang sudah menjelma menjadi sebuah sub kultur dalam kehidupan masyakat, di mana nilai-nilai yang bersumber dari agama Islam, teralah diserap dan diakui menjadi tradisi yang bersifat universal dalam lingkup yang lebih kecil atau masayarakat lokal.
Hal itu bisa terjadi lantaran, masyarakat di kawasan setempat mempercayai bahwa penyembelihan hewan tidak boleh dilakukan sembarangan. Apalagi dalam Islam juga mengatur hal tersebut.
“Karena itu, khusus untuk penyembelihan hewan saat bersih desa dipasrahkan kepada tokoh agama Islam, yang dipersepsikan memiliki nilai kebajikan yang terlah diakui sesuai standart yang semestinya,” ungkap dosen di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, Jawa Timur ini.
Sementara itu, Holland Taylor, narasumber lainnya di acara tersebut, mengungkapkan bahwa ada kekhasan yang muncul di tengah masyarakat di daerah Magelang, Jawa Tengah. Menurutnya, di kawasan tersebut terjalin hubungan yang demikian harmonis kendati terdapat berbagai perbedaan.
“Perbedaan yang ada tidak menjadi alasan untuk saling berkonflik, namun bagaimana menghargai dan hidup damai dalam perbedaan,” katanya. (***)