“Dalam perspektif usul fiqih, mafhum mukholafah-nya, jika serangga dijadikan alternatif menu protein program MBG, jangan-jangan kondisi bangsa kita tidak baik baik saja. Apa karena program MBG minim anggarannya, sehingga perlu ada menu alternatif,”katanya kepada PKBTalk24, Jumat (31/1/2025).
PKBTalk24 | ~ Program Makan Bergizi Gratis (MBG), masih saja menuai kontraversi. Terbaru, Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, dalam sebuah acara di Jakarta mengusulkan serangga sebagai lauk atau menu MBG di daerah tertentu.
Menurut Dadan, serangga merupakan salah satu sumber protein tinggi yang sudah dikonsumsi di beberapa daerah. “Jika di daerah tertentu masyarakat sudah terbiasa mengonsumsi serangga, maka serangga bisa menjadi menu di wilayah tersebut,” ujar Dadan, dikutip dari ANTARA, Sabtu (25/1/2025).
Karuan saja, usulan tersebut langsung menuai pro dan kontra. Ketua Dewan Syura DPC PKB Jakarta Selatan, Ustadz Wawan El Ganjuri salah satu yang mempertanyakan ide tersebut. Dalam perspektif hukum fiqih, jika harus ada jalan alternatif mengganti kebutuhan asupan protein dengan serangga, berarti ada sesuatu yang tidak bisa dipenuhi.
“Dalam perspektif usul fiqih, mafhum mukholafah-nya, jika serangga dijadikan alternatif menu protein program MBG, jangan-jangan kondisi bangsa kita tidak baik baik saja. Apa karena program MBG minim anggarannya, sehingga perlu ada menu alternatif,”katanya kepada PKBTalk24, Jumat (31/1/2025).
Yang kedua, ujar politisi PKB Jakarta ini, perlu dipertanyakan, juga apa yang dimaksud dengan “serangga” tersebut. “Jenisnya serangga yang bagaimana?”katanya menambahkan.
Sebab jelasnya, ada kategori serangga yang dianggap menjijikkan, yang dalam kontek Islam, dianggap sebagai haram alias tidak boleh dikonsumsi. Memang ada kelompok ulama yang membolehkan, namun tidak sedikit yang mengharamkan.
“Sebagai contoh, jenis ulat-ulatan, kalajengking, laron, yang meskipun dia berprotein tinggi, tapi jika dinilai menjijikkan bagi yang mengkonsumsi maka bernilai haram,”kata Ustadz Wawan.
Lagi pula, katanya jika memang ada yang jelas-jelas halal mengapa harus mencari sumber pangan yang tidak jelas hukumnya. Di desa-desa itu, serangga menjadi makanan alternatif, karena kondisinya sulit secara ekonomi.
Dalam perspektif Islam, menurut Wawan El Ganjuri, masalah makanan itu kreterianya bukan hanya yang halal, tetapi juga yang baik. Baik yang dimaksud mencakup manfaat bagi tubuh atau kandungan nilai gizi, baik cara mendapatkan, baik dalam memproses, patut atau tidak jorok dan tidak menjijikkan.
Karena itu, ujar Ustadz Wawan, binatang mati tercekik atau disembelih dengan tidak menyebut nama Allah SWt, dalam Islam pun dinilai haram untuk dimakan, karena hukumnya dianggap sebagai bangkai.

“Kembali ke soal serangga. Itu ada yang dinilai kurang baik menjijikkaan bagi sementara orang. Tetapi, ada juga yang bangkainya boleh di makan atau tidak haram, yaitu bangkai ikan dan belakang (ilas-samaka wal khudhor,” ujarnya.
Ada keringanan – rukhshah – dalam kondisi kedarutatan
Pertanyaannya kemudian, apa motif pemerintah yang ingin menyertakan serangga sebagai salah satu alternatif menu pengganti sumber protein. Apa karena kondisi darurat, mendesak atau karena tidak punya anggaran?
Lagi pula bagaimana dan daerah mana saja yang memiliki tradisi mengkonsumsi serangga. Bagaimanya sistem pengadaannya. Pengolahananya, dan nyarinya di mana. Semua itu tidak jelas. Bisa jadi malah merusak lingkungan nantinya.
“Lagi pula, apa iya, negara kita sudah dalam situasi gawat darurat seperti Afrika misalnya, yang kesulitan pangan. Sebab, mafhum mukholafah-nya, logikanya kalau serangga dijadikan sebagai sumber makanan bergizi, jangan jangan kondisi bangsa kita tidak baik baik saja,”katanya. (AKH)