“Kalau kita mengacu ke Data Agregat Kependudukan (DAK) 2 Pemilu 2024, jumlah penduduk DKI sekitar 11 juta jiwa. Artinya, jumlah kursi DPRD DKI seharusnya menjadi 100, bukan 106,” ujar Wahyu.
PKBTalk24 | Jakarta ~ Jumlah kursi anggota DPRD DKI Jakarta diprediksi bakal berkurang pada periode mendatang. Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta mengungkapkan, potensi pengurangan dari 106 menjadi 100 kursi muncul akibat perubahan aturan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2024 tentang Daerah Khusus Jakarta (UU DKJ).
Ketua KPU DKI Jakarta, Wahyu Dinata, menjelaskan dalam diskusi publik bertajuk “Penataan Daerah Pemilihan dan Alokasi Kursi DPRD DKI Jakarta” di ruang Paripurna DPRD DKI, Rabu (8/10/2025), bahwa aturan baru tersebut tidak lagi memuat klausul pengecualian alokasi 125 persen kursi sebagaimana diatur sebelumnya.
“Kalau kita mengacu ke Data Agregat Kependudukan (DAK) 2 Pemilu 2024, jumlah penduduk DKI sekitar 11 juta jiwa. Artinya, jumlah kursi DPRD DKI seharusnya menjadi 100, bukan 106,” ujar Wahyu.
Dengan hilangnya klausul pengecualian itu, penentuan kursi DPRD kembali mengacu pada UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, sehingga jumlah wakil rakyat Jakarta berpotensi menyusut enam kursi.
Meski begitu, Wahyu menilai masih ada peluang perubahan melalui revisi UU Pemilu yang sedang dibahas. “Kita lihat nanti revisinya seperti apa. Kalau tidak ada perubahan, otomatis kembali ke undang-undang lama,” imbuhnya.
Status “Daerah Khusus” dan Kompleksitas Representasi Politik Jakarta
Penetapan Jakarta sebagai Daerah Khusus lewat UU No. 2 Tahun 2024 menimbulkan tantangan baru dalam tata kelola representasi politik. Tidak seperti provinsi lain, Jakarta memiliki kompleksitas tata ruang, kepadatan penduduk, dan beban administratif yang jauh lebih besar.
Selain menjadi pusat ekonomi nasional, Jakarta juga memikul fungsi administratif khusus, mulai dari kawasan pemerintahan, bisnis, hingga pusat mobilitas urban. Karena itu, jumlah kursi DPRD tidak bisa hanya ditentukan oleh jumlah penduduk semata.
Dalam konteks ini, alokasi kursi legislatif juga seharusnya memperhatikan proporsi tanggung jawab kebijakan publik, tingkat kemiskinan, ketimpangan antarwilayah, serta kemampuan dewan dalam menjalankan fungsi pengawasan dan legislasi di kota megapolitan seperti Jakarta.
Wibi Andrino: Jangan Hanya Hitung Jumlah Jiwa
Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, Wibi Andrino, menegaskan bahwa formula penentuan jumlah kursi DPRD tidak boleh semata-mata didasarkan pada angka penduduk.
“Soal jumlah kursi DPRD, kita harus melihat indikator kesejahteraan. Jangan sampai politik malah menjadi beban baru di tengah sinisme publik terhadap proses politik,” ujar Wibi.
Ia mengingatkan bahwa kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif sedang berada di titik kritis. “Kepercayaan publik ini harus dikembalikan lewat kinerja yang nyata. Jangan malas untuk melakukan crossing indikator kebutuhan masyarakat. Libatkan partisipasi publik lewat kehadiran anggota Dewan,” tegasnya.
Wibi juga berharap revisi UU Pemilu mendatang lebih mengedepankan kemaslahatan publik dibanding sekadar hitung-hitungan administratif.
“Harapan kita, pembahasan revisi UU Pemilu tidak hanya menghitung jumlah jiwa saja, tapi juga proporsi wilayah terhadap penyelesaian masalah,” pungkasnya.
Dilema Representasi di Kota Megapolitan
Kebijakan pengurangan kursi DPRD DKI Jakarta mencerminkan dilema antara efisiensi politik dan kebutuhan representasi masyarakat urban. Di satu sisi, jumlah penduduk memang menjadi indikator konstitusional dalam menentukan alokasi kursi. Namun di sisi lain, Jakarta dengan karakter multi-layer governance membutuhkan representasi yang mampu menampung keberagaman masalah dari 44 kecamatan dengan beban sosial, ekonomi, dan ekologis yang berbeda.
Dalam kerangka UU DKJ, representasi politik Jakarta seharusnya berorientasi pada fungsi pelayanan publik yang efisien, transparan, dan partisipatif—bukan sekadar pada kalkulasi matematis jumlah penduduk. (AKH)