Oleh : Komarudin Daid | Sekretaris DPC PKB Jakarta Barat
Pasca orde baru, PPP mengalami trand penurunan suara. Dalam rentang 6 kali Pemilu, setelah lengsernya Soeharto, suara PPP tidak pernah mengalami kenaikan. Puncaknya, di Pemilu tahun 2024 ini, PPP tidak mampu lolos ambang batas minimal 4 persen, karena PPP hanya mampu memperoleh suara 5.878.777 suara alias 3,87 persen.
PKBTalk24 | Jakarta ~ Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan partai yang sudah lama bercokol di pentas politik tanah air, yaitu Parti Persatuan Pembangunan (PPP). Keputusan tersebut diketuk MK dalam gugatan perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU), Selasa, 21 Mei 2024. Nasib PPP, sepertinya makin tidak menentu.
Dalam putusan dismissal, putusan menentukan apakah sebuah perkara layak untuk dilanjutkan kepersidangan MK atau tidak, hakim MK menilai permohonan pemohon tidak memenuhi syarat formil, karenanya harus dinyatakan kabur dan tidak bisa dilanjutkan ke proses pembuktian.
Diketahui, PPP mengajukan 13 gugatan ke MK lantara merasa mengalami banyak kejanggalan. Ada dugaan perpindahan suara dari PPP ke partai lain, terutama Partai Garuda, tidak sinkronnya hitungan suara versi PPP dan KPU, sehingga suara caleg dan partai berkurang di 19 daerah pemilihan. PPP pun meminta adanya peralihan suara dari Partai Garuda ke PPP dan perbaikan penghitungan suara PPP oleh KPU.
***
Dengan begitu, PPP tidak mampu meloloskan diri dari lubang jarum Pemilu yang bernama parliamentory Threshold (PT) atau batas perolehan suara minimal 4 persen sebagai syarat mutlak partai untuk bisa mendudukan kader terbaiknya di DPR-RI.
Ironis, bagaimana tidak, partai yang berdiri sejak tahun 1973, sarat pengalaman dan berulangkali ikut kontestasi pemilihan umum legislatif, langkahnya harus terhenti, kalah bersaing dengan partai-partai baru yang bermunculan pasca reformasi.
Padahal, jika melihat umurnya, PPP sudah 11 kali ikut Pemilu, yaitu 5 kali di zaman orde baru (Orba) dan 6 kali pasca reformasi. Rinciannya, Pemilu orde baru tahun 1977, 1982, dan 1987, 1992 serta Pemilu tahun 1997. Sedangkan pada era pasca reformasi pada Pemilu 1999, 2004, 2009, 2014, 2019, dan 2024.
Selain PPP, PDI yang berganti nama menjadi PDIP, juga 11 kali mengikuti kontestasi pemilu. Sementara Golkar sudah ikut Pemilu sejak tahun 1971, di awal-awal kekuasaan Presiden Soeharto, yang berarti sampai Pemilu 2024, Golkar telah 12 kali ikut kontestasi Pemilu legislatif.
Bedanya, PDIP dan Golkar terus bertengger sebagai partai papan atas. Enam kali Pemilu, pasca keruntuhan Orde baru, PDIP selalu menjadi pemenang Pemilu. Pernah disalib oleh Golkar pada Pemilu 2004, dan Partai Demokrat pada pemilu 2009. Tetapi, selebihnya, di pemilu 1999, 2014, 2019, dan 2024 PDIP kembali menunjukan diri sebagai pemenang.
Sementara, sejak pasca orde baru, PPP mengalami trand penurunan suara. Dalam rentang 6 kali Pemilu, setelah Soeharto mundur dari tampuk kekuasaannya, suara PPP tidak pernah mengalami kenaikan. Puncaknya, di Pemilu tahun 2024 ini, PPP tidak mampu lolos ambang batas minimal 4 persen, karena PPP hanya mampu memperoleh suara 5.878.777 suara alias 3,87 persen. Otomatis, PPP tidak berhak menempatkan kadernya dikursi Parlemen DPR-RI.
Tidak bisa disangkal, saat ini PPP hanyalah partai politik non-parlememen alias partai politik tanpa perwakilan DPR-RI, sehingga tidak punya kekuatan politik di tingkat nasional.
***
Zaman Presiden Soeharto, setiap kali pemilu selalu menempatkan Golkar sebagai pemenang. Mulai Pemilu 1971 saat diikuti oleh NU sebagai partai, Parmusi dan PNI. Pemilu tahun 1977, Golkar terus berjaya diikuti PPP sebagai runnur up dan PDI sebagai pemenang ketiga.
Kelihaian Presiden Soeharto membuat desain Pemilu, sedemikian rupa, sehingga hasilnya sesuai keinginannya, bahkan Pemilu untuk lima tahun yang akan datang pun, hasilnya sudah bisa dipastikan menempatkan ketiga posisi partai, sesuai kehendak Presiden Soeharto.
Jelasnya, pemilu di zaman orde baru sengaja didesain rapih, agar menempatkan Golkar sebagai pemenang berturut-turut, dalam setiap kali hajatan pemilu dilaksanakan.
***
Semua Ketua Umum Partai di zaman Orba harus atas restu dan persetujuan Soeharto. Menjadikan menteri dalam negeri sebagai penyelenggara Pemilu, Komisi Pemilihan Umum sampai jajaran pemerintah di bawahnya, gubernur, bupati, walikota dan lurah sampai RW/RT dengan terlibat sebagai tim pemenangan Golkar.
Kakansospol dipungsikan sebagai Pembina Parpol di setiap tingkatan, menyatunya ABRI, birokrasi dan Golkar atau ABG dengan ilistilah Dwi Fungsi ABRI adalah langkah untuk memastikan agar hasil Pemilu menempatkan Golkar sebagai juara pertama, tidak boleh terkalahkan oleh dua partai lainnya, PPP dan PDI.
Yang dididik menjadi cerdas adalah Golkar, kadernya didayagunakan sedemikian rupa, kader Golkar direkrut jadi menteri di rezim Soeharto, BUMN dan tempat basah lainnya, sehingga kader partai tersalurkan pada posisi penting dalam mengelola negara dan pemerintahan.
Selanjutnya, PPP dibuat untuk puas berada pada zona nyaman, dengan menempatkannya di posisi kedua. Toh, secara realistis, PPP tidak mungkin mengalahkan Golkar, dan selanjutkan hasil Pemilu menempatkan PDI pada posisi yang terzdolimi sebagai juru kunci dari Pemilu ke Pemilu.
Pasca Pemerintahan Soeharto, ketiga partai di atas bertarung secara terbuka, Golkar yang saat Orba tidak mau menyebut dirinya sebagai partai politik, tidak lagi dalam “gendongan politik” Soeharto, penyelenggara Pemilu tidak lagi melibatkan jajaran pemerintah bahkan konstitusi mengharamkannya.
Undang-undang Pemilu Nomor 3 Tahun 1999, mengamanatkan penyelenggara Pemilu atau KPU kepada partai politik peserta Pemilu, pemerintah, TNI, Polri, Bimas dan Babinsa yang dahulu bagian mengintimidasi rakyat, diharamkan terlibat baik langsung maupun tidak langsung, PNS pun dilarang berpolitik praktis, bahkan sekedar menjadi pendukung partai tertentu.
***
Pertarungan Bebas
Pasca kejatuhan Presiden Soeharto, aturan Pemilu mengalami banyak perubahan. Undang-undang Pemilu Nomor 3 Tahun 1999 mengkoreksi total aturan Pemilu zaman orde baru. Penyelenggara Pemilu tidak boleh lagi melibatkan PNS saat itu atau saat ini aparatur sipil negara (ASN), ABRI atau TNI saat ini, dan Polisi yang dahulu ada di bawah tentara atau ABRI, diharamkan terlibat dalam penyelengaraan Pemilu dalam semua bentuknya. Dwi Fungsi ABRI dihapus dan fokus pada urusan pengamanan negara.
Penyelenggara Pemilu yang dahulu Mendagri sampai jajaran ke bawahnya, dalam UU Pemilu Nomor3/1999 mengamanatkan penyelenggara Pemilu adalah satu orang masing-masing perwakilan partai politik peserta Pemilu, yang saat itu berjumlah 48 Parpol.
Praktis Pemilu pertama setelah kejatuhan orde baru, campur tangan pemerintah dan aparat ke bawahnya tidak lagi terlihat kasat mata, sehingga hasil Pemilu pun tidak lagi menjadikan Golkar sebagai pemenang, justru PDIP yang dahulunya bernama PDI, yang selalu ada pada posisi buncit, malah menjadi pemenang pertama. Golkar di posisi kedua dan PPP yang zaman orba sangat aman pada posisi kedua, kalah suara dengan partai baru PKB.
Komposisi partai pemenang Pemilu berubah. PDIP memperoleh 35.689.073 suara dan 153 kursi DPR RI, disusul Golkar dengan 23.741.758 suara atau setara dengan 120 kursi DPR RI. Raihan Golkar ini menjadikannya
kehilangan 205 kursi di banding Pemilu terakhir di zaman Orba, tahun 1997 atau Pemilu terakhir sebelum Soeharto lengser. Suara ketiga, ditempati Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dengan 13.336.982 dan tempat ke empat PPP dengan perolehan 11.329.905 suara, disusul Partai Amanat Nasional (PAN) dengan 7.528.956 suara.
***
Sebenarnya tidaklah mengherankan jika suara PPP selalu turun dari Pemilu satu ke Pemilu berikutnya, sementara partai Golkar dan PDIP tetap bertengger di posisi papan atas.
PPP tidak terbiasa untuk menjadi petarung. Zaman kekuasaan Soeharto terlalu lama dikondisikan pada zona nyaman, sebagai pemenang kedua setelah Golkar. Beda dengan PDI yang selama orde baru berada pada posisi terdzolimi dengan memasang ketua PDI yang bisa diatur oleh Soeharto, sementara kader PDI yang betul-betul Soekarnois-Marheinis, malah tidak diberi tempat di partai tersebut oleh kekuatan Soeharto, sehingga dikondisikan berada pada peringkat paling akhir, sementara Golkar selalu menjadi pemenang Pemilu legislatif.
Dendam politik PDI mencapai puncaknya pada Pemilu 1999, setelah terjadi pergantian Ketum dari Soryadi yang boneka politik Soeharto kepada Megawati Soekarno Putri. Selain itu, PDI kemudian mengganti nama menjadi PDIP. Pada saat yang sama, rezim Soeharto yang sudah 32 berkuasa dengan otoriter pun jatuh oleh Gerakan Reformasi 1998, yang dimotori oleh mahasiswa.
Pemilu pertama 1999, PDIP menjadi pemenang, dibayangi Golkar, PKB setelah, itu baru PPP. Pada Pemilu berikutnya, PDIP dan Golkar terus berada pada posisi papan atas, sementara PPP terus merosot bahkan pemilu 2024 tidak lolos ambang batas minimal 4 persen sebagai syarat lolos ke Parlemen.
***
Sesungguhnya PPP tidak terbiasa menjadi partai yang harus bertarung di area bebas, tanpa ada keterlibatan kekuasaan super power yang mendasain Pemilu sedemikian rupa. Faktanya, setelah kejatuhan Presiden Soeharto, partai politik harus bertarung secara terbuka mengandalkan kekuatan masing-masing, tanpa ada lagi pihak yg mampu mengatur menjadi pemenang.
Tidak ada lagi intimidasi dari pemerintah kepada rakyat agar memilih partai tertentu. Maka hanya partai dengan karakter petarung sajalah yang bisa eksis, bahkan menjadi pemenang seperti PDIP dan Golkar.
Tetapi masih ada harapan untuk PPP pada pemilu 2029, asalkan sungguh-sungguh mau belajar dari kekalahan dan kesalahan. Bukankah masih cukup banyak anggota legislatif di tingkat provinsi, kabupaten dan kota dari PPP se Indonesia. Itu artinya PPP belum hilang sama sekali dari percaturan politik di tanah air. Masih ada harapan untuk menjadi parpol bergengsi di antara partai lainnya.
Sangat disayangkan jika partai yngg terlanjur melegenda di masyarakat harus lenyap dari percaturan politik Indonesia. Ada banyak makna kalau partai ini tetap eksis bersama partai lainnya membangun bangsa Indonesia tercinta. Semoga. (***)