Bagi kami di Gerbang Tani DKI Jakarta, Idul Adha tahun ini terasa istimewa. Para peternak yang kami dampingi bisa sedikit tersenyum. Mereka berhasil memasarkan hasil ternaknya langsung kepada para pengkurban, tanpa harus lewat tengkulak. Ini semua berkat jaringan antar anggota yang di bangun secara gotong royong di berbagai daerah.
Oleh: H. Tri Waluyo, Ketua DPW Gerbang Tani DKI Jakarta | *
PKBTalk24 | Jakarta ~ Hari Raya Idul Adha bukan hanya momentum ibadah dan pengorbanan, tapi juga momen pengingat akan nasib petani, peternak, dan nelayan—tiga kelompok pahlawan pangan yang kerap dilupakan. Di tengah gegap gempita penyembelihan hewan kurban, kita patut bertanya: sudahkah mereka yang menghadirkan pangan di meja makan kita benar-benar sejahtera?
Bagi kami di Gerbang Tani DKI Jakarta, Idul Adha tahun ini terasa istimewa. Para peternak yang kami dampingi bisa sedikit tersenyum. Mereka berhasil memasarkan hasil ternaknya langsung kepada para pengkurban, tanpa harus lewat tengkulak. Ini semua berkat jaringan antar anggota yang di bangun secara gotong royong di berbagai daerah.
Memang, ini baru secuil dari perjuangan panjang. Tapi di tengah derasnya dominasi pasar besar dan permainan harga yang tidak adil, keberhasilan menjual ternak sendiri menjadi angin segar. Ini bukti bahwa jika diberi ruang dan didukung jaringan, peternak lokal bisa bangkit. Bisa mandiri. Bisa untung.
Nelayan Masih Tertinggal di Tengah Laut
Namun, cerita manis ini belum bisa dirasakan saudara-saudara kita di sektor nelayan. Di pesisir Jakarta, khususnya Muara Angke, nelayan kecil masih bergulat dengan aturan yang berat sebelah. Mereka diwajibkan memasang Vessel Monitoring System (VMS) di kapal di bawah 30 GT, dengan biaya pemasangan bisa mencapai Rp20 juta. Belum lagi biaya tahunan dan ongkos administrasi yang tidak sedikit.
Bayangkan, nelayan yang penghasilannya pas-pasan untuk makan hari ini, dipaksa tunduk pada sistem digital yang sejatinya lebih cocok untuk kapal industri besar. Sementara laut yang mereka layari pun tak lagi ramah. Reklamasi, pencemaran, dan jarak tempuh yang makin jauh membuat tangkapan menurun drastis.
Ironisnya, saat mereka nekat melaut lebih jauh demi sesuap nasi, sistem VMS justru bisa menjebak mereka dalam pelanggaran administratif, yang berujung denda. Di titik ini, kita bisa bertanya: siapa sebenarnya yang dilayani oleh regulasi ini? Nelayan kecil, atau justru korporasi besar?
Petani Masih Menunggu Keberpihakan Nyata
Lalu, bagaimana kabar para petani kita di pelosok negeri? Mereka masih berkutat dengan sistem tanam-panen yang tidak terintegrasi, akses pupuk yang mahal, dan harga panen yang tak menentu. Lebih menyedihkan lagi, ketika panen tiba, harga anjlok karena serbuan impor produk pertanian yang datang tanpa kendali.
Jika pemerintah terus abai terhadap keberpihakan pada produk lokal, dan lebih memilih ‘impor nakal’ sebagai solusi cepat, maka mimpi swasembada pangan hanya tinggal jargon politik. Kita akan terus jadi bangsa yang makan dari hasil tani orang lain, sementara petani kita sendiri hidup dalam kemiskinan yang diwariskan dari musim ke musim.
Mari Kita Berpihak
Gerbang Tani, sebagai organisasi sayap yang lahir dari rahim PKB, hadir bukan hanya untuk mengkritik. Tapi juga untuk memberi solusi. Kami membangun jejaring pemasaran hasil ternak dan pertanian lokal. Kami mendampingi nelayan agar bersuara menghadapi regulasi yang menindas. Dan kami terus mendorong kebijakan pangan yang berpihak pada rakyat kecil.
Momentum Idul Adha ini adalah pengingat. Bahwa pengorbanan yang sesungguhnya bukan hanya soal menyembelih hewan, tetapi berani menyembelih ego, kepentingan sesaat, dan keberpihakan palsu demi kesejahteraan rakyat.
Petani, nelayan, dan peternak tidak butuh belas kasihan. Mereka butuh akses, keadilan, dan keberpihakan nyata.
_______
- Selain sebagai anggota DPRD DKI Jakarta dari FPKB, penulis juga Ketua DPW Gerbang Tani DKI Jakarta, organisasi sayap PKB yang fokus pada pemberdayaan petani, nelayan, dan peternak.