“Buat kami di Fraksi PKB, 100 hari pertama ini bisa dibilang awal yang cukup positif. Tapi tantangannya justru ada di setelahnya: bagaimana semua janji dan program ini bisa benar-benar sampai ke warga secara utuh.”
Oleh: M. Fuadi Lutfi | Ketua FPKB DPRD DKI Jakarta *
PKBTalk24 | Jakarta ~ Hari-hari pertama selalu jadi panggung harapan. Bagi warga Jakarta, seratus hari pertama Gubernur Pramono Anung dan Wakil Gubernur Rano Karno ibarat bab awal dari buku yang kita semua nanti akan menilai: apakah ceritanya membawa perubahan nyata, atau hanya ganti pemeran tanpa arah baru?
Sebagai Ketua Fraksi PKB di DPRD DKI Jakarta, saya tak ragu menyebut: awal ini cukup menjanjikan. Pramono dan Rano bergerak cepat, dengan gaya kerja yang lebih membumi. Mereka langsung menyasar kebutuhan dasar warga—bukan sekadar pencitraan.
Kebijakan yang Terasa oleh Warga
Lihat saja kebijakan seperti pemutihan ijazah untuk siswa-siswi yang tertahan karena urusan biaya. Mungkin terdengar teknis, tapi bagi banyak keluarga, itu adalah harapan yang sudah lama tertahan. Atau program transportasi gratis bagi penerima bantuan pendidikan, yang bukan hanya memudahkan mobilitas, tapi secara psikologis menegaskan bahwa negara hadir untuk mereka yang paling rentan.
Yang juga menarik perhatian saya: perpustakaan dibuka hingga jam 10 malam. Kebijakan ini mungkin tak sepopuler pembagian bantuan, tapi dampaknya luar biasa. Bagi para pekerja harian yang ingin belajar setelah pulang kerja, bagi mahasiswa sambil kerja, atau anak SMA yang butuh ruang aman untuk belajar—kebijakan ini menjadi angin segar.
Tak ketinggalan, aplikasi JAKI hadir kembali dengan fitur baru, termasuk tombol darurat. Dan beberapa taman kota kini dibuka 24 jam, memberi ruang sosial yang inklusif bagi semua kalangan.
Pentingnya Menyentuh Akar Sosial Jakarta: Pesantren
Namun, tak semua hal bisa diukur dari jumlah bansos atau aplikasi baru. Ada satu sektor yang menurut saya belum cukup disentuh: pesantren dan komunitas pendidikan keagamaan.
Jakarta bukan hanya kota megapolitan dengan gedung-gedung tinggi. Di lorong-lorong kecilnya tumbuh ratusan pesantren, majelis taklim, dan madrasah nonformal. Mereka adalah benteng moral masyarakat urban, tempat warga mencari arah di tengah derasnya arus perubahan.
Sayangnya, selama ini mereka sering luput dari perhatian pemerintah daerah. Program seperti KJP (Kartu Jakarta Pintar) sangat bagus, tapi belum menjangkau para santri yang belajar di luar sistem pendidikan formal.
Kami di Fraksi PKB mendorong agar ke depan ada: Beasiswa khusus santri, Bantuan operasional untuk pesantren, Pelatihan keterampilan untuk lulusan pesantren, dan Penguatan ekonomi berbasis komunitas keagamaan.
Bukan karena mereka istimewa, tapi karena mereka terbukti tangguh—selalu hadir membantu Jakarta saat krisis, dari pandemi sampai konflik sosial.
Tapi mari juga jujur: program-program baik ini belum semuanya sampai ke warga. Masih banyak pengurus RT, RW, bahkan kelurahan yang bingung bagaimana mengimplementasikannya.
Warga tidak tahu bagaimana cara daftar, dan aparat belum paham petunjuk teknis. Kalau ini tidak segera diperbaiki, maka keberpihakan yang sudah dirancang baik akan berhenti di tataran wacana.
Dukung Penuh, Kawal Ketat
Kami di Fraksi PKB tetap akan bersikap objektif dan konstruktif. Kami dukung penuh langkah pro-rakyat, tapi kami juga akan mengingatkan jika langkah itu mulai melenceng, atau berhenti di seremoni tanpa hasil nyata.
Seratus hari adalah waktu yang pendek untuk perubahan besar. Tapi cukup untuk menunjukkan niat dan arah. Kami ingin pastikan bahwa ke depan, tidak ada warga yang tertinggal—terutama mereka yang selama ini berjuang di balik layar: para guru ngaji, pengasuh pesantren, dan komunitas yang menjaga Jakarta tetap beradab di tengah modernitas.
Karena kota ini bukan hanya soal beton dan jalan tol. Tapi juga tentang siapa yang tetap menjaga nilai dan makna di balik semua itu. Semoga. (***)
__________
Penulis: M. Fuadi Lutfi | Ketua Fraksi PKB (FPKB) DPRD DKI Jakarta | Anggota Komisi A DPRD DKI Jakarta