Kita tidak perlu memilih antara keterbukaan atau privasi. Yang kita butuhkan adalah keseimbangan. UU KIP dan UU PDP seharusnya dipahami sebagai regulasi yang saling menopang. Transparansi tetap wajib dijalankan—misalnya dalam penggunaan APBD, program pemerintah, dan laporan BUMD. Tetapi, data pribadi warga harus tetap dijaga, karena di situlah letak martabat dan hak asasi manusia.
Oleh: Ahmad Kholil | KholilAhmad_AKH*
PKBTalk24 | Jakarta ~ Apakah semua data publik harus dibuka? Pertanyaan ini semakin relevan di era digital, ketika tuntutan keterbukaan informasi bertemu dengan kebutuhan menjaga privasi individu. Dua undang-undang yang sering kali bersinggungan di sini adalah Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU No. 14 Tahun 2008) dan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU No. 27 Tahun 2022).
Keduanya sama-sama penting, tetapi sering menimbulkan dilema. Di satu sisi, masyarakat berhak tahu bagaimana uang negara digunakan. Di sisi lain, individu juga berhak agar data pribadinya tidak tersebar sembarangan. Bagaimana menyeimbangkan keduanya?
Contoh aktual saat ini misalnya, ada seorang warga menggugat ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan dalih ijazah SMA Gibran yang dipakai untuk mendaftar sebagai cawapres bermasalah. Gugatan ini bahkan menuntut ganti rugi fantastis hingga Rp 125 triliun dan menyeret KPU RI sebagai tergugat.
Kasus ini memperlihatkan bagaimana dokumen pribadi, seperti ijazah, bisa berubah menjadi isu politik dan hukum besar. Publik menuntut transparansi, sementara regulasi mengingatkan bahwa ada batas privasi yang tidak boleh dilanggar.
Hak Publik untuk Tahu
UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) secara tegas menyatakan bahwa setiap orang berhak memperoleh informasi publik. Pasal 9 ayat (1) menegaskan badan publik wajib menyediakan informasi terkait program dan kegiatan, termasuk laporan keuangan. Lebih rinci lagi, Pasal 11 huruf c mengatur bahwa badan publik wajib mengumumkan laporan keuangan secara berkala, termasuk laporan penggunaan APBD serta hasil audit BUMD. Namun hal-hal terkait detail kontrak kerja sama proyek atau, misalnya yang mengandung rahasia negara dan dianggap bisa mengancam ketertiban umum bisa dikecualikan.
Artinya, informasi tentang APBD, proyek pembangunan, atau laporan BUMD bukanlah “rahasia negara”. Justru harus dibuka agar publik bisa mengawasi. Keterbukaan di sini adalah bagian dari demokrasi, mencegah korupsi, sekaligus membangun kepercayaan warga kepada pemerintah. Pada akhirnya, partisipasi warga dalam proses pembangunan akan tumbuh.
Batasan Informasi, Tidak Semua Bisa Dibuka
Namun, UU KIP juga memberi pagar. Pasal 17 mengatur tentang informasi yang dikecualikan. Salah satunya, Pasal 17 huruf h, yang menyebut informasi publik dapat ditutup jika terkait dengan data pribadi seseorang, seperti, riwayat pribadi, kondisi keluarga, rekam medis, hingga catatan keuangan pribadi.
Tujuannya jelas, keterbukaan informasi tidak boleh mengorbankan hak individu. Jadi, kalau ada warga yang meminta data penerima bansos lengkap dengan alamat rumah dan NIK, badan publik berhak menolak karena itu melanggar ketentuan perlindungan data pribadi.
Lahirnya UU Perlindungan Data Pribadi
Seiring perkembangan teknologi, lahirlah UU No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP). Undang-undang ini menguatkan posisi individu dalam melindungi datanya. Pasal 2 menegaskan bahwa perlindungan data pribadi adalah bagian dari hak asasi manusia.
Pasal 4 memberikan daftar hak subjek data, seperti hak atas kerahasiaan data, hak mengakses, hak memperbaiki, hingga hak untuk menghapus data pribadi. Sementara Pasal 65 mengatur sanksi, mulai dari administratif hingga pidana, bagi pihak yang melanggar.
Dengan UU PDP, publik dan badan publik tidak bisa lagi sembarangan membuka data pribadi dengan dalih transparansi.
Titik Temu: Transparansi Bukan Berarti Tanpa Batas
Di sinilah hubungan erat antara UU KIP dan UU PDP. Keduanya tidak bertentangan, tetapi saling melengkapi. UU KIP mendorong keterbukaan untuk kepentingan publik, UU PDP menjaga agar keterbukaan tidak menginjak hak privasi warga.
Contoh sederhana:
-
Penggunaan APBD → harus dibuka (UU KIP, Pasal 9 dan 11). Pasal 11 huruf c UU KIP misalnya menegaskan:
“Badan publik wajib mengumumkan laporan keuangan secara berkala.”
Artinya, laporan penggunaan APBD dan hasil audit BUMD termasuk informasi yang wajib dibuka kepada publik. Tidak ada alasan menutupinya, sebab transparansi keuangan negara adalah syarat utama demokrasi yang sehat.
-
Identitas penerima bantuan sosial lengkap dengan NIK → boleh dibuka agregatnya (jumlah penerima, total dana), tetapi data pribadi tiap penerima tidak boleh diumbar (UU KIP Pasal 17 huruf h, UU PDP Pasal 2 & 4).
Keseimbangan ini kunci agar demokrasi tetap sehat dan hak individu tetap terlindungi.
Risiko Jika Dilanggar
Konsekuensinya tidak main-main. Jika badan publik menutup rapat semua informasi dengan alasan “privasi”, padahal itu menyangkut laporan APBD atau audit BUMD, berarti melanggar UU KIP. Publik bisa menggugat melalui Komisi Informasi, bahkan sampai ke pengadilan.
Sebaliknya, jika badan publik atau individu menyebarkan data pribadi tanpa izin, misalnya daftar pasien rumah sakit atau nomor rekening pegawai, itu jelas melanggar UU PDP. Sanksinya bisa berupa denda miliaran rupiah hingga pidana penjara.
Menjaga Keseimbangan di Era Digital
Era digital membuat tantangan ini semakin nyata. Data beredar begitu cepat, terkadang tanpa filter. Padahal, tidak semua informasi publik layak dijadikan konsumsi publik.
Di sinilah peran pejabat pengelola informasi dan dokumentasi (PPID), media, serta masyarakat. Kita harus kritis membedakan antara keterbukaan yang sehat dengan pelanggaran privasi.
Seperti dua sisi mata uang, keterbukaan tanpa perlindungan bisa berbahaya, perlindungan tanpa keterbukaan bisa membunuh demokrasi.
Kita tidak perlu memilih antara keterbukaan atau privasi. Yang kita butuhkan adalah keseimbangan. UU KIP dan UU PDP seharusnya dipahami sebagai regulasi yang saling menopang.
Transparansi tetap wajib dijalankan—misalnya dalam penggunaan APBD, program pemerintah, dan laporan BUMD. Tetapi, data pribadi warga harus tetap dijaga, karena di situlah letak martabat dan hak asasi manusia.
Pada akhirnya, hukum bukan sekadar aturan tertulis, melainkan kompas moral: agar negara transparan tanpa mengorbankan hak dasar warganya.
____
*) Penulis adalah Jurnalis dan Pemimpin Redaksi PKBTalk24