Dalam satu dekade terakhir, Nahdliyyin sudah terlalu sering direpotkan menjaga nama baik organisasi. Mulai dari isu konsesi tambang, pemecatan sepihak pengurus, hingga kini tudingan pengaruh zionisme. Semua berakar dari satu virus yang sama, politik transaksional, pragmatis, dan oportunis.
Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc. MA *
PKBTalk24 | Cirebon ~ Senin, 8 September 2025, menjadi hari yang tak biasa bagi Nahdlatul Ulama. PBNU menerbitkan surat penghentian/penangguhan pelaksanaan AKN NU sekaligus membekukan kerja sama dengan Center for Shared Civilizational Values (CSCV). Surat bernomor 4368/PB.23/A.II.08.07/99/08/2025 ini ibarat sinyal darurat: ada yang salah, ada yang tidak beres.
Sebab, sejak awal, CSCV memang menuai kontroversi. Didorong oleh nama-nama besar seperti KH. A. Mustofa Bisri, KH. Yahya Cholil Staquf, Yaqut Cholil Qoumas, hingga akademisi internasional, lembaga ini semula tampak gagah—berwajah dialog antarperadaban. Namun di baliknya, CSCV justru membuka pintu samar bagi masuknya pengaruh zionisme ke tubuh NU.
Kehadiran tokoh-tokoh asing seperti Dr. Peter Berkowitz dalam forum Akademi Kepemimpinan Nasional NU (AKN NU) menjadi titik balik. Publik mulai curiga, apa sebenarnya misi besar yang sedang dimainkan?
Politik Rangkap Jabatan dan Krisis Kepemimpinan
Masalah kian pelik ketika KH. Yahya Cholil Staquf tampil dengan dua wajah, Ketua Umum PBNU sekaligus Presiden CSCV. Bayangkan, ia bisa membuat nota kesepahaman dan program bersama NU–CSCV semudah menandatangani cek pribadi.
Yang lebih menyakitkan, Rais Aam KH. Miftachul Akhyar seolah memilih diam. Kritik publik baru digubris setelah gelombang protes menguat. Dalam kacamata manajemen, ini bukan sekadar pragmatisme politik, melainkan oportunisme kepemimpinan—membiarkan masalah membesar hanya demi kenyamanan kekuasaan.
Pertanyaan reflektifnya sederhana, jika NU yang lahir dari spirit moral dan perjuangan muassis bisa dibiarkan digelayuti aroma zionisme, lalu apa yang tersisa dari marwah Jam’iyah ini?
Oportunisme vs Khitthah NU
Dalam satu dekade terakhir, Nahdliyyin sudah terlalu sering direpotkan menjaga nama baik organisasi. Mulai dari isu konsesi tambang, pemecatan sepihak pengurus, hingga kini tudingan pengaruh zionisme. Semua berakar dari satu virus yang sama, politik transaksional, pragmatis, dan oportunis.
Padahal NU bukan sekadar organisasi massa. Ia adalah rumah spiritual, benteng moral, sekaligus penopang perjuangan Palestina. Membiarkan oportunisme berlanjut sama saja mengikis nilai paling luhur NU: keberpihakan pada yang tertindas.
Jalan Terjal Penyembuhan Citra NU
Menerbitkan surat penghentian memang solusi cepat. Tapi ini bukan terapi jangka panjang. Agar NU kembali bermartabat, ada tiga hal penting:
-
Memutus mata rantai zionisme: hentikan total kerja sama dengan CSCV. NU tak butuh parasit ideologi.
-
Kepemimpinan berintegritas: KH. Yahya Cholil Staquf dan KH. Miftachul Akhyar perlu mempertimbangkan mundur demi menyelamatkan NU. Kadang, melepaskan tahta adalah bentuk pengorbanan terbesar.
-
Kembali ke Khitthah: arahkan kembali NU ke jalur moral dan idealisme muassis, bukan politik kekuasaan.
Mundur memang berat. Sejarah NU belum pernah mencatat Rais Aam yang rela meninggalkan jabatannya. Tetapi, sejarah juga tak pernah mengenal NU sebagai corong kepentingan zionisme. Dalam kaidah fikih: idza ijtama’a mafsadatani fa ‘alaikum bi akhaffihima—jika ada dua mudarat, pilihlah yang lebih ringan.
Lebih baik kehilangan jabatan daripada kehilangan marwah. (***)
__________
Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.