KPK bahkan menemukan indikasi lebih dari 100 agen travel diduga terlibat dalam praktik jual-beli kuota. Travel besar mendapat jatah lebih banyak, sedangkan travel kecil hanya sedikit. Berdasarkan perhitungan awal, kerugian negara diperkirakan mencapai Rp1 triliun.
Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc., MA *
PKBTalk24 | Cirebon ~ Kasus dugaan korupsi kuota haji kembali menyita perhatian publik. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama, Hilman Latief, selama lebih dari 11 jam pada Kamis (18/9/2025). Panjangnya pemeriksaan menunjukkan adanya dugaan kuat terkait aliran dana yang kini tengah ditelusuri penyidik.
Kasus ini bermula dari pengalokasian tambahan 20 ribu kuota haji yang diperoleh Presiden Joko Widodo dari Pemerintah Arab Saudi. Sesuai aturan, tambahan itu seharusnya diprioritaskan untuk haji reguler demi memperpendek masa tunggu, atau minimal 8 persen dialokasikan untuk haji khusus. Namun kenyataannya, kuota dibagi rata: 10 ribu untuk haji reguler dan 10 ribu untuk haji khusus. Di sinilah dugaan penyalahgunaan kuota muncul.
KPK bahkan menemukan indikasi lebih dari 100 agen travel diduga terlibat dalam praktik jual-beli kuota. Travel besar mendapat jatah lebih banyak, sedangkan travel kecil hanya sedikit. Berdasarkan perhitungan awal, kerugian negara diperkirakan mencapai Rp1 triliun.
Nama-nama dari dua ormas Islam terbesar, NU dan Muhammadiyah, ikut terseret. Dari NU disebut Isfah Abidal Aziz dan Zainal Abidin. Dari Muhammadiyah, selain Hilman Latief, juga muncul nama Sunanto (Cak Nanto), eks Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah. Fakta ini jelas menimbulkan guncangan: ormas yang selama ini menjadi benteng moral umat justru diuji oleh skandal besar.
Mengapa Harus Mundur?
Dalam situasi seperti ini, ada setidaknya empat alasan kenapa kader NU maupun Muhammadiyah yang tersangkut kasus harus mundur dari jabatannya:
-
Menjaga kredibilitas organisasi. NU dan Muhammadiyah adalah ormas Islam terbesar di Indonesia. Keterlibatan kader dalam dugaan korupsi berpotensi merusak kepercayaan umat.
-
Amanah dan akuntabilitas. Ibadah haji adalah rukun Islam yang sakral. Jual-beli kuota sama sekali bertentangan dengan nilai amanah, transparansi, dan keadilan.
-
Menjaga marwah kepemimpinan. Publik menuntut figur ormas Islam memiliki standar moral tinggi. Mundur dari jabatan adalah langkah menjaga kehormatan organisasi.
-
Menghindari konflik kepentingan. Dengan mundur, kader yang tersangkut bisa fokus membela diri secara hukum, sementara organisasi tetap berjalan tanpa beban.
Selain itu, transparansi internal menjadi kunci. NU dan Muhammadiyah perlu membangun mekanisme tegas untuk menindak kader yang diduga terlibat korupsi. Langkah ini bukan sekadar menjaga citra, tapi juga menjadi contoh nyata penerapan nilai Islam tentang kejujuran dan keadilan.
Skandal kuota haji ini tidak hanya persoalan hukum, tapi juga krisis moral. Jika dibiarkan, ia akan mencederai sakralitas ibadah haji dan meruntuhkan marwah ormas Islam. Karena itu, mundurnya kader yang diduga terlibat bukan sekadar pilihan, melainkan keharusan demi menjaga kehormatan NU, Muhammadiyah, dan umat Islam secara luas. Wallahu’alam bishawab. (***)
_______
*) Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia; Alumni Universiti Malaya; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI); dan Pengurus Besar PBNU periode 2010–2015.