“Apabila Petitum yang mereka ajukan dikabulkan MK, akan terjadi kekacauan dalam pelaksanaan Pemilu 2024 mendatang,” ujar Anggota DPR RI Fraksi PKB, Lukman Hakim.
PKBTalk24, Jakarta ~ Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menolak wacara pemilu dengan sistem proporsional tertutup. Terkait dengan hal ini, Anggota DPR RI dari Fraksi PKB Luqman Hakim meyakini jika Judicial Review (JR) atau uji materi sistem proporsional terbuka Pemilu harus ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Pasalnya, ada banyak kejanggalan dan logika yang tidak koheren yang disampaikan oleh para penggugat dan kuasa hukum JR atau uji materi kepada MK. Luqman Hakim mengaku sudah membaca dan menelaah Risalah Sidang Perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 tanggal 23 November 2022 serta tanggal 7 dan 20 Desember 2022.
Semua Risalah Sidang tersebut, menurut Luqman dapat diakses publik melalui website resmi Mahkamah Konstitusi RI, Pada Risalah Sidang MK 7 Desember 2022 dengan acara Perbaikan Permohonan, publik dapat membaca Petitum yang diajukan para penggugat.
“Setelah mencermati seluruh Petitum yang diajukan, saya menilai para penggugat bersama kuasa hukum yang mereka tunjuk, kurang memiliki penguasaan ilmu kepemiluan, gagal memahami alur pemilu, sehingga Petitum yang mereka ajukan terlihat irasional, absurd dan kacau,” ujar Luqman, Rabu (4/1/2023).
Karena itu, Luqman meyakini, apabila Petitum yang mereka ajukan dikabulkan MK, akan terjadi kekacauan dalam pelaksanaan Pemilu 2024 mendatang.
Pertama, Lukman menjelaskan para penggugat meminta agar Pasal 420 UU Pemilu huruf (c). Naskah Asli UU Pemilu berbunyi: “Hasil pembagian sebagaimana dimaksud pada huruf b diurutkan berdasarkan jumlah nilai terbanyak.” Usulan perubahan menjadi : “Hasil pembagian sebagaimana dimaksud pada huruf b diurutkan berdasarkan nomor urut.”
Kedua, para penggugat mengajukan agar Pasal 420 huruf (d) dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Naskah asli huruf (d) Pasal 420 UU Pemilu ini berbunyi: “nilai terbanyak pertama mendapat kursi pertama, nilai terbanyak kedua mendapat kursi kedua, nilai terbanyak ketiga mendapat kursi ketiga, dan seterusnya sampai jumlah kursi di daerah pemilihan habis terbagi.”
Pasal 420 UU Pemilu ini mengatur tatacara konversi suara menjadi kursi partai politik di satu daerah pemilihan dengan metode Sainte Lague, yakni suara sah yang diperoleh setiap partai dibagi dengan bilangan ganjil mulai dari 1, 3, 5, 7 dan seterusnya.
Perhitungan ini untuk menentukan apakah partai politik berhak mendapatkan alokasi kursi parlemen dan berapa jumlah kursi yang berhak diperoleh. Oleh karena itu, tentu berhak atau tidaknya partai politik mendapatkan kursi parlemen didasarkan pada nilai terbanyak hasil suara sah partai politik yang telah dibagi dengan angka 1, 3, 5, 7 dan seterusnya. Bukan didasarkan pada nomor urut partai politik.
“Di sini, terlihat para penggugat mengalami lompatan logika, terburu-buru, tidak cermat, tidak memahami alur pemilu sehingga mengalami kekacauan pemahaman dari substansi aturan pembagian kursi kepada partai politik tiba-tiba lompat kepada siapa calon yang berhak menempati kursi tersebut,” jelas Luqman Hakim.
Menghapus huruf (d) Pasal 420 ini, kata Luqman akan menyebabkan kebuntuan dan kekacauan pemilu, karena tidak ada lagi aturan yang menjadi pedoman bagaimana membagi kursi parlemen kepada partai politik peserta pemilu di suatu daerah pemilihan.
“Dengan demikian, jika MK mengabulkan petitum para penggugat terhadap Pasal 420 huruf (c) dan (d), maka Pemilu 2024 mendatang tidak bisa menghasilkan kursi parlemen bagi semua partai politik peserta pemilu. Kacau kan,” kata Luqman.
Ketiga, Luqman juga menyoroti petitum para penggugat terhadap Pasal 422 UU Pemilu. Para penggugat meminta agar bunyi pasal ini diubah menjadi “Penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari Partai Politik Peserta Pemilu didasarkan pada perolehan kursi Partai Politik Pemilu di suatu daerah pemilihan”.
Naskah asli : Pasal 422 UU Pemilu berbunyi: “Penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari Partai Politik Peserta Pemilu didasarkan pada perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan ditetapkan berdasarkan suara terbanyak yang diperoleh masing-masing calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di suatu daerah pemilihan yang tercantum pada surat suara”.
“Apabila petitum Pasal 422 UU Pemilu ini dikabulkan MK, akan menimbulkan ketidakpastian siapa anggota partai politik yang berhak menempati kursi parlemen yang diperoleh partai politik,” ungkap Luqman Hakim.
Bahkan, dengan petitum seperti itu, partai politik yang memperoleh kursi di suatu daerah pemilihan memiliki kewenangan mengirimkan anggotanya yang tidak menjadi calon legislatif untuk menempati kursi parlemen yang diperoleh partai. Sungguh parah!
Keempat, “Selain itu, Petitum yang diajukan para penggugat terhadap Pasal 422 juga bertentangan dengan ketentuan afirmasi kepada calon parlemen perempuan sebagaimana diatur pada Pasal 245 dan Pasal 246 UU Pemilu,” tutup Luqman Hakim.
Sebagaimana diketahui sebelumnya, hangatnya diskursus publik mengenai sistem pemilu proporsional terbuka dan proporsional tertutup dipicu adanya permohonan pengujian (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi mengenai konstitusionalitas sistem proporsional tertutup yang diatur di dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Permohonan ini didaftarkan oleh para pemohon pada tanggal 14 November 2022 dengan nomor perkara 114/PUU-XX/2022. Secara umum, para pemohon menggugat pasal-pasal di dalam UU Pemilu yang menyangkut sistem proporsional terbuka, yaitu :
- Pasal yang mengatur surat suara,
- Pasal yang mengatur keabsahan coblosan,
- Pasal yang mengatur konversi suara menjadi kursi partai
- Pasal yang mengatur penetapan calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota berdasarkan perolehan suara terbanyak.