Saat blusukan, seorang caleg memang harus mampu menempatkan dirinya lebih banyak sebagai pendengar ketimbang bicara. Jadi jangan heran kalau seorang caleg terkesan sangat kooperatif, sangat care terhadap konsituennya dan terkesan sebagai pendengar yang sangat baik.
Oleh: Komarudin Daid | Sekretaris DPC PKB Jakarta Barat
PKBTalk24 | Jakarta ~ Penantian panjang politik untuk partai politik ditentukan pada tanggal 14 Pebruari 2024. Hari itu bisa terlihat partai mana yang menjadi pemenang pemilu, partai mana saja yang berpotensi memenangkan pertarungan Capres-Cawapres yang diusungnya, partai mana yang mampu menempatkan kader terbaiknya dikursi DPRRI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/kota.
Proses Pemilu dan Pilpres 2024, sudah berjalan dan sejak 28 Nopember lalu Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah membolehkan kampanye, baik untuk calon legislatif DPR RI, DPRD Provinsi maupun DPRD kota/kabupaten, juga kampaye DPD RI dan kampanye paslon Capres-cawapres
Partai mana saja yang berhasil melewati ambang batas minimal yaitu batas perolehan suara minimal 4 persen dari suara secara nasional, atau sebaliknya, partai yang tidak mampu melewati ambang batas suara – parliamentory Threshold (PT) minimal 4 persen, sehingga menjadi partai tanpa parlemen alias gagal menempatkan kadernya melanggang ke kursi di Senayan.
Lain halnya dengan Pilpres, tanggal 14 februari 2024 menjadi semacam babak penyisihan pasangan calon atau paslon Capres-cawapres. Karena hampir bisa dipastikan paslon Capres-cawapres berlangsung dalam dua putaran.
Dari ketiga paslon, satu paslon terhenti langkahnya, tersingkir karena perolehan suaranya paling sedikit, sedangkan dua paslon lainnya akan mengikuti “babak final” untuk bersaing kembali menentukan paslon mana yang keluar sebagai pemenang Capres-cawapres untuk 5 tahun mendatang.
Tahapan krusial masa kampanye
Tahapan kampanye sudah dimulai sejak tanggal 28 Nopember sampai 10 Pebruari 2024. Tahapan ini merupakan tahapan yang sangat krusial. Keberhasilan seorang calon anggota legislatif sangat ditentukan pada masa kampanye.
Kemenangan partai politik dan Capres-cawapres yang diusungnya bisa diprediksi pada saat kampanye, termasuk partai apa saja yang lolos parliamentory Threshold (PT) 4 persen dari seluruh suara sah secara nasional, sebagai syarat mutlak partai politik bisa mendukukan kadernya di kursi DPR RI secara berjamaah.
Di masa kampanye, caleg dan paslon diperbolehkan memasang spanduk, banner bendera, stiker atau alat kampanye lainnya untuk memperkenalkan dirinya kepada khalayak bahwa mereka ikut kontestasi pemilu 2024. Tentu berharap adanya dukungan dan mencoblon namanya pada 14 Pebruari 2024 nanti.
Untuk edisi kali ini penulis ingin fokus membahas seputar keseruan calon legislatif yaitu Caleg DPRRI, Caleg DPRD Provinsi maupun Caleg DPRD kabupaten/kota. Seputar dinamika kampanye mereka, ekspansi wilayah baru, utamanya calag incumben atau patahana yang ketagihan dengan empuknya duduk di kursi legislatif.
Para Caleg mulai berlaga, keluar dari persembunyiannya, mereka membranding diri sebaik-baiknya untuk memikat calon pemilih, mereka tidak canggung menggunakan poto lama, bahkan poto pertama kali sukses menjadi anggota dewan 20 tahun lalu untuk dipajang kembali sebagai alat peraga kampanye. Padahal kondisi saat ini dengan 20 tahun lalu sangat jauh berbeda. Selain ingin memberi kesan terbaik, ada caleg yang meyakini poto tersebut membawa hoky.
Pesan yang tertulis di spanduk atau banner juga beragam, seperti kata cerdas, jujur, amanah, terbukti, teruji dan sebagainya. Apakah realitasnya seperti itu? Tergantung dari sudut mana menilainya. Sebab boleh jadi, hal tersebut termasuk bagian dari cara membranding citra diri seorang Caleg di masyarakat sebaik-baiknya.
Masih ada beragam cara atau model kampanye dari celeg DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/kota. Ada yang memanfaatkan kecanggihan teknologi media sosial, pertemuan terbatas atau turun ke rumah warga door to door. Apapun model kampanyenya, yang tidak berubah adalah keharusan sang caleg mendengar dengan serius ataupun terkesan serius keluh kesah masyarakat.
Caleg ingin menanam kesan sebagai orang yang lebih suka mendengar ketimbang bicara, mencari simpati masyarakat, sehingga mengesankan orang yang paling baik dari seluruh orang yg ada dilokasi saat itu, karenanya perlu didukung.Begitu kurang lebih.
Saat blusukan, seorang caleg memang harus mampu menempatkan dirinya lebih banyak sebagai pendengar ketimbang bicara. Jadi jangan heran kalau seorang caleg terkesan sangat kooperatif, sangat care terhadap konsituennya dan terkesan sebagai pendengar yang sangat baik.
Tapi ada kalanya caleg juga juga harus mampu menjawab pertanyaan dari konstituen yang kritis, sebab kalau tidak, akan menurunkan kredibilitasnya sebagai seorang calon legislatif dan buat orang dengan kategori terdidik melek politik akan ragu memilihnya.
Mencari Daerah “Jajahan baru”
Belum pernah kita mendengar seseorang yang kapok menjadi anggota dewan. Semua merasa kerasan bahkan ketagihan. Buktinya setiap lima tahun, mereka ikut mencalonkan diri kembali. Persoalannya seorang caleg incumben sering kali punya catatan yang kurang baik di masyarakat tempat kampanyenya dahulu, hingga yang bersangkutan tidak bisa lagi kampanye di tempat yang sama, saat yang bersangkutan ingin mencalonkan kembali pada periode berikutnya.
Jadi persoalannya ada pada tempat atau daerah mana lagi yang menjadi sasaran kampanye berikutnya, yang pasti tempat itu harus lahan baru yang pada kampanye lima tahun lalu belum tersentuh caleg , dan untuk sekedar lahan kampanye tidak menjadi masalah yang serius, tinggal cari lahan baru dimana dilahan tersebut orang belum mengenalnya lebih dekat.
Sebenarnya tidak ada persoalan kalau saja Patahana mampu memenuhi janji-janji Kampanyenya dulu. Dia juga tidak perlu mencari lahan baru untuk Kampanye pemilu berikutnya,karena sudah terbukti dimasyrakat kalau keberadaannya sebagai seorang anggota Dewan benar-benar membawa berkah dan manfaat, maka cukup menggunakan Tagline Sudah terbukti sudah teruji, sang incumbenpun mulus kembali munuju kursi dewan.
Tetapi buat patahana yang Gagal membuktikan janji-janjinya , maka yang bersangkutan harus mencari daerah baru yang pada pemilu lalu belum pernah dijamahnya , harus pindah,bertemu orang-orang baru, dilahan kampanye baru dengan janji-jani manis yang baru pula.
Itulah buah dari perilaku oknum anggota dewan yang tidak mampu merealisasikan janji-janjinya. memang pada akhirnya menyangkut lahan baru mudah teratasi, karena masih banyak daerah baru yang bisa dijadikan sasaran kampanye, untuk merayu dan membuat janji-janji baru kepada masyarakat “di daerah jajahan baru” pula untuk sebuah ambisi besar tidak ada kata mati langkah.
Masih banyak daerah baru yang bisa digarap, yang penting masih dalam satu dapil, tinggal bikin segudang janji dan harapan kepada warga daerah tersebut, seperti kampanye lima tahun lalu, toh masyarakat kita pada dasarnya mudah percaya apalagi yang dijanjikan logis dan si caleg dan timnya punya pola komunikasi yang baik dan memikat.
Hanya masalahnya mereka punya catatan yang tidak baik saja ditempat kampanye lima tahun lalu. Tapi buat syahwat politik yang siap ejakulasi, apalah pentingnya dengan segala catatan, kesan atau omongan orang ,yang penting bagaimana caranya bisa terpilih kembali sebagai anggota dewan,persyetan dengan omongan dan penilaian masyarakat.
Kacang lupa kulit
Pada realitanya memang banyak anggota dewan yang tidak mampu mewujudkan janji-janji kampanye kepada kinstituen. Jangankan kepada konstituen, kepada pertai yang menjadi kendaraan politik , sekaligus menjadi washilah naiknya yang bersangkutan kekursi dewan ,sering kali terlupakan. Seorang anggota dewan seakan lupa dari mana dia berangkat,dari mana dia berasal, dari mana dapat rekomendasi sehingga jadi anggota dewan. Persis kata pepatah kacang yang lupa akan kulitnya.
Karena menurutnya Partai hanya sebatas kendaraan politik saja, toh yang menentukan jadi anggota dewan karena kekuatan finansial dan kerja tim suksesnya. Tanpa kekuatan kantong caleg mana mungkin jadi anggota dewan. Rekomendasi dari partai tidak punya kekuatan apapun untuk mendorong seseorang sukses menjadi anggota dewan kalau caleg sendiri tidak punya uang dalam jumlah yang besar.
Begitu kira-kira cara berpikir dari seorang yang sudah sukses menjadi anggota dewan,sehingga melupakan partainya sendiri. Tentu saja banyak yang pola pikirnya tidak seperti itu,masih banyak anggota dewan yang baik bahkan menjadi inspirasi warganya.
Sayangnya partai sendiri sepertinya tidak punya taji untuk melakukan tindakan tegas, sehingga seorang anggota dewan semakin tidak terkontrol dan lupa diri. Jangankan mengambil langkah pergantian antar waktu (PAW), sekedar memberi teguran tertulispun tidak dilakukan.
Mandulnya kekuatan partai melahirkan konsekuensi logis berupa lalainya seorang anggota dewan terhadap kewajibannya mengurus dan membesarkan partai. Yang bersangkutan merasa sudah cukup berbakti kepada partainya dengan aktif pada kegiatan kedewanan, apakah rapat fraksi, rapat komisi, rapat anggaran, kunjungan kerja ataupun kegiatan rutin lainnya, yang kesemuanya berbayar, dihargai tidak murah oleh anggaran negara atau APBN atau APBD.
Setahu penulis, semua partai memotong gaji anggota fraksinya ,prosentasinya tiap partai berbeda, mungkin 10 persen,15 persen atau lebih. Inilah satu-satunya yang bisa dilalukan partai terhadap kadernya yang menduduki jabatan kursi dewan. Ini jugalah yang selalu dibangga-banggakan sehingga seorang anggota dewan merasa sudah melakukan segalanya untuk partai yang telah membesarkan nama dan mengisi rekening banknya.
Seorang anggota dewan bisa punya banyak uang, bisa beli rumah baru,mobil baru, berlibur keluar negeri, shoping di tempat belanja yang elit dan mahal dan semua kemewahan bisa didapatnya. Masa iya tidak bisa menyisakan sedikit saja untuk keperluan partai, sehingga partai bergerak dinamis, kader bisa belajar maksimal dalam mengelola organisasi partai politik, kader makin cerdas dan paham tentang parpol sesuai ekspektasi dan merasa bersyukur berada digerbong partai politik.
Persoalannya sejauh mana yang bersangkutan peduli terhadap partainya, pengurus atau kader partai bersangkutanlah yang bisa melihat dan merasakannya. Bisa dilihat sejauh mana keberadaannya dirasakan memberi manfaat baik kepada partai ataupun kader partai, dengan peran sertanya menjalankan program atau kegiatan kepartaian,bukan membiarkan partai dalam kondisi stagnan berkepanjangan tanpa aktivitas kepartaian.
Tuntutan loyalitas
Kadang ada yang tidak masuk akal dari cara berpikir seorang anggota dewan ketika menyangkut loyalitas. Sering kali yang bersangkutan menuntut kader dibawahnya untuk menunjukan loyalitasnya kepada partai, padahal merekalah yang seharusnya menunjukan itu terlebih dulu. Mereka sendiri yang sudah jadi anggota dewan, sudah merasakan berkah berpartai gagal menunjukan loyalitasnya, tapi menuntut kader di bawahnya yang belum dapat apa pun, untuk menunjukan loyalitasnya.
Entah dapat dari mana model berpikir yang terbolak-balik tersebut. Harusnya mereka yang sudah jadi dewanlah yang menunjukan loyalitasnya kepada partai,bukan menuntut kader lain yang belum kebagian kue partai utk loyal.
Tunjukan keteladanan, karena pada akhirnya tanpa dimintapun kader akan loyal kepada partai, kalau saja ada teladan terbaik yang ditunjukan oleh kader yang sudah menjadi elit partai tersebut .Jangan menuntut terlalu tinggi kepada kader ,sementara yang sudah “jadi orang” malah abai,lupa dengan partai yang telah membesarkannya.
Tentu partai juga tidak butuh kader yang cengeng, manja, selalu ingin difasilitasi. Tapi pada faktanya ada bahkan banyak kegiatan partai yang tidak bisa ditangani kader lain dan membutuhkan sokongan finansial untuk hal yang satu ini tidak bisa kita bebankan kepada yang lain, kecuali nimbrungnya para anggota dewan merogoh koceknya untuk terlaksananya kegiatan dimaksud.
Partai pilitik berbeda dengan ormas yang masih bisa mencari bantuan dana ke pihak luar untuk kegiatannya. Sudah seharusnya mereka menghidupi partai dengan segala resources yang dimilikinya, sementara kader yang belum mendapat “berkah politik” menjadi bagian pelaksana dari kegiatan kepartaian.
Dengan cara itu, partai akan hidup, punyak banyak kegiatan, kader terberdayakan,kader merasa tertempa oleh sistem pergerakan partai yang dinamis, kader menjadi lebih cerdas dan berterima kasih kepada partai yang telah memproses dirinya sebagai pengurus partai politik .
Setelah itu sikap militansi, loyalitas kepada Partaipun akan tumbuh dengan sendirinya, bukan menuntut lahirnya militansi dulu,sementara “sang elit” bak berada dimenara gading, males dan menjaga jarak dengan kader. Dengan sikap seperti ini, maka dipastikan roda partai tidak akan bergerak alias stagnan dan kader merasa keberadaannya hanya alat mobiliasi untuk menghadiri even yang dibuat oleh “orang lain” saja.
Posisi anggota dewan biasanya dijabat kader senior partai, sebagai senior dengan kedudukan terhormat,sudah seharusnya memberi contoh kepada kader junior yang masih dalam proses menjadi kader militan, salah-salah dalam memberi teladan bisa membuat mereka prustasi bahkan antipati terhadap partai, mereka merasa hanya sebatas obyek dari keberadaan partai yang dimasukinya, dimanfaatkan untuk kepentingan senior mereka. Tentu mereka rela berjuang untuk dan atas nama partai, tapi belum tentu mereka rela berjuang hanya untuk kepentingan orang perorang termasuk senior mereka yang “sudah jadi orang”.
Menjadi bertolak belakang dengan keinginan seseorang masuk partai politik. Sebagai yunior, mereka ingin belajar melalui senior mereka dipartai yang menaungi mereka.Tapi apa yang mereka dapat setelah masuk partai justru sama sekali diluar ekspektasi mereka.
Partai sama sekali tidak mengasahnya menjadi lebih cerdas,lebih matang,lebih peka akan situasi, lebih responsif menghadapi segala situasi dan kondisi,dipartai malah menjadi tidak lebih pintar, karena tidak ada even yang menggembleng mereka.
Yang ditemukan dipartai hanya manusia egois, hedonis, culas,licik dan gemar berbohong, yang hoby berjanji juga gemar mengingkari, yang gemar bicara manis, tapi pahit kenyataannya, yang hanya mementingkan dirinya sendiri tanpa pernah mau tau dengan situasi orang lain. Alih-alih menuntut loyalitas, tapi teladan yang di dapat dari senior mereka justru perilaku yang sama sekali haram
untuk ditiru.
Ternyata partai yang dimasuki mandul, sama sekali tidak punya kegiatan kepartaian. Memang sering mengikuti acara yang diadakan oleh pengurus yang secara struktural berada diatasnya. Mungkin ikut acara ulang tahun partai, bedah buku atau diskusi, istighosah, pengajian, rapat bahkan kaderisasi, tapi itu semua kegiatan yg bersipat partisipasi saja. kegiatan menghadiri undangan bukan kegiatan internal partai.
Lalu apa saja kegiatan partai yang betul-betul murni sebagai program partai? Adalah kegiatan yang dirancang lewat sebuah acara musyawrah kerja, rapat kerja atau sebutan lainnya, yang lalu direalisasikan pelaksanaannya sebagai pelaksanaan dari program kerja partai. Bukan menghadiri kegiatan program “orang lain” tapi diklaim sebagai kegiatan internal partai.
Jangan bangga aktif menghadiri kegiatan pogram “orang lain” lalu lalai dengan program kegiatan yang sudah dirancang jauh-jauh hari. Jangan dulu senang mampu mengerahkan massa demi meramaikan kegiatan yang bukan program sendiri, sementara programnya sendiri nol besar alias tidak ada yg terlaksana.
Kalau demikian apa bedanya dengan majlis taklim emak-emak yang sering digunakan untuk pengerahan massa,demi meramaikan sebuah kegiatan organisasi lain, yang tidak punya efek positif untuk internal organisasi yang dipimpin. Partai kok hobynya kerayak-keroyok, kumpul-kumpul, sampai lupa dengan program sendiri, stagnan, antara ada dan tiada, antara hidup dan mati. Dibilang hidup tak bergerak dibilang mati masih bernapas.
Wallahu a’lam bishowab.
Jakarta, 6 Desember 2023.